tribunwarta.com – Anggota Pusat Kajian Assessment Pemasyarakatan (POTEKIP) sekaligus Pakar Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amriel mengimbau agar semua pihak berkontribusi dalam memenuhi perlindungan terhadap anak – anak sekali pun buah hati dari seorang teroris .
Harapannya, tidak ada lagi keluarga teroris yang dipersekusi seperti diusir oleh warga atau diburu sebagaimana narasi yang beredar belakangan ini di kalangan publik.
Aksi perlindungan terhadap anak pelaku teroris ini tentunya bukan dimaksud untuk menormalisasi terorisme di tanah air, bukan.
Lebih jauh, inisiasi ini muncul atas kekhawatiran munculnya regenerasi teroris di masa mendatang.
Selain itu, anak teroris berhak dilindungi dengan dua alasan, yakni selaku anak korban jaringan terorisme dan anak – anak yang mengalami stigma akibat perbuatan orang tuanya.
“Jangan-jangan kita menyediakan pretext (dalih) bagi terjadinya regenerasi teror,” ucap dia.
“Pada dasarnya, anak – anak pelaku teror harus dipandang sebagaimana anak – anak lainnya. Mereka punya hak yang sama seperti anak – anak lain, dan seluruh pemenuhan hak itu harus dijamin negara,” ujarnya.
Ada pun perlindungan khusus bagi anak pelaku teror telah tertuang dalam UU Nomor 35 Tahun 2014.
Alih-alih menggunakan kata ‘tangkap’, UU tersebut justru memandu untuk ‘memastikan’ terberikannya ‘ perlindungan khusus’ bagi anak – anak pelaku teror.
“Anak itu dari usia nol hingga sebelum 18 tahun. Tidak ada regulasi tentang perlindungan khusus bagi usia setelah anak – anak ,” katanya.
Di sisi lain, perlindungan untuk anak pelaku teror juga merujuk pada teori J. Post yang mengatakan seseorang menjadi teroris ketika orangtuanya kalah dalam pertarungan melawan penguasa.
Oleh karena itu, pemerintah didorong untuk segera bergerak memberi perlindungan guna membangun relasi positif dengan keluarga pelaku teror.
“Jadi jangan buru-buru diserahkan ke masyarakat. Ada tiga pihak yang hadir lebih dahulu (pemerintah pusat, daerah, dan lembaga negara yang bersangkutan),” ucap Reza.***