Ngenes! RI Ketiban Durian Runtuh, Negara Lain yang Kaya Raya

Ngenes! RI Ketiban Durian Runtuh, Negara Lain yang Kaya Raya

tribunwarta.com – Neraca perdagangan Indonesia berhasil menorehkan surplus selama 30 bulan beruntun. Namun, kesuksesan ini tidak tergambar dalam penguatan cadangan dolar di dalam negeri.

Alih-alih menukar Devisa Hasil Ekspor (DHE), eksportir rupanya lebih senang menyimpan uangnya di luar negeri. Sekalipun, diendapkan di bank dalam negeri, eksportir sudah pasti enggan melakukan konversi mata uangnya ke rupiah.

Hal ini membuat pemerintah pusing tujuh keliling. Bahkan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menilai situasi kelangkaan pasokan dolar AS di tanah air saat ini, tak ubahnya seperti situasi krisis 2008.

Oleh karena itu, Airlangga meminta kepada pengusaha agar dalam memenuhi bahan baku dan bahan modalnya, untuk bisa dilakukan substitusi impor alias menggantikannya dengan barang tingkat komponen dalam negeri (TKDN).

“Ini penting karena program TKDN bahasa lainnya program substitusi impor. Dalam public policy mendorong dua hal, bangun industri orientasi ekspor hasilkan devisa dan substitusi impor hemat devisa,” ujarnya.

“Kebijakan substitusi impor, kurangi demand dolar itu penting,” kata Airlangga lagi.

Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang menangkap masalah ini pun memerintahkan Bank Indonesia (BI) menggodok kebijakan yang bisa menahan dolar AS di dalam sistem keuangan Tanah Air lebih lama.

“Dari BI bisa buat sebuah mekanisme sehingga ada periode tertentu cadangan devisa yang bisa disimpan dan diamankan di dalam negeri,” jelas Menko Perekonomian Airlangga mengulang mandat Jokowi dalam Sidang Kabinet Paripurna, dikutip Kamis (8/12/2022).

Dengan langkah ini, Presiden berharap pundi-pundi cadangan devisa bisa gemuk. Pasalnya, seperti disinggung di atas, Indonesia sudah ‘ketiban durian’.

Durian yang dimaksud tersebut adalah harga komoditas yang melambung tinggi, khususnya setahun terakhir. Sebut saja batu bara, minyak dan gas. nikel. bauksit, hingga minyak kelapa sawit.

Hasilnya, neraca perdagangan Indonesia sudah surplus 30 bulan berturut-turut, sejak Mei 2020. Terakhir, pada Oktober 2022, neraca perdagangan Indonesia mencatatkan masih surplus US$ 5,67 miliar.

Sayangnya, durian runtuh ini tidak disimpan di Tanah Air. Negara tetangga yang untung besar dari posisi surplus negara perdagangan RI.

Hal ini pun diakui oleh eksportir Tanah Air. Eksportir mengaku lebih memilih menyimpan dolar hasil ekspor di luar negeri dikarenakan kurang kompetitif bunga deposito valas di Indonesia.

Menurut pengusaha, bunga menyimpan uang valas di dalam negeri tidak sebesar negara tetangga. Hal ini bisa menjadi indikasi faktor bahwa banyak orang lebih memilih untuk menyimpan DHE di Singapura.

“Menyimpan USD di dalam negeri (deposito) bunga nya lebih kecil di banding menyimpan USD di Singapore (saat ini),” kata Ketua Umum (ketum) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia Benny Soetrisno kepada CNBC Indonesia, dikutip Rabu (7/12/2022).

Hal ini karena Singapura menawarkan lebih dari 3% setahun untuk dolar AS yang ditempatkan di deposito berjangka. Jauh lebih tinggi dibandingkan di dalam negeri yang hanya rata-rata 0,38%.

“Karena bunga untuk deposito USD di Singapore lebih tinggi dibanding bunga di dalam negeri,” kata Benny.

Terbukti, bunga deposito dolar di Singapura berkisar 3,8%-4,9%.

Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman menilai suku bunga perbankan nasional untuk simpanan valas belum bisa menarik para pengusaha untuk memarkir dolarnya lebih lama di dalam negeri.

Oleh karena itu, dia meyakini pemerintah sebenarnya bisa memberikan dengan insentif pajak.

“Bisa dengan kebijakan insentif bunga yang lebih besar untuk deposito dalam valas atau juga dengan insentif pajak,” jelas Faisal.

Volatilitas kurs rupiah yang tidak stabil, juga menjadi salah satu alasan pengusaha ogah untuk memarkir dolarnya di bank devisa nasional.

Rencana BI & Pemerintah

Beberapa waktu lalu, Bank Indonesia (BI) membeberkan bahwa pihaknya bersama dengan pemerintah dan kalangan perbankan tengah menggodok program khusus untuk menarik perhatian para eksportir supaya lama mengendapkan dolar hasil ekspornya di perbankan dalam negeri.

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Destry Damayanti mengungkapkan isi yang tercakup dalam program ini di luar dari insentif pajak progresif yang selama ini telah diberikan dalam rekening khusus untuk devisa hasil ekspor (DHE).

“Jadi ini yang sedang terus kami godok dan dalam waktu dekat instrumen ini akan kami keluarkan dan tentu kami berharap DHE SDA (sumber daya alam) yang selama ini ada di luar untuk bisa masuk ke sini kembali,” kata Destry saat konferensi pers secara virtual, Kamis (17/11/2022).

Program khusus ini menurut Destry sifatnya akan menggunakan mekanisme pasar, likuditasnya terjamin, bisa repricing, dan yang terpenting pemberian tarifnya atau pricing insentifnya akan sangat kompetitif dibandingkan dengan penempatan dananya di luar Tanah Air.

Khusus untuk mekanisme pasar yang akan diterapkan, Destry menjelaskan, dana milik eksportir itu nantinya akan ditempatkan kepada agent bank, setelah itu masuk melalui BI sebagai bagian dari operasi moneter valas. Destry memastikan saat itu BI akan memberikan harga atau rate yang menarik.

Mekanisme ini, menurut Destry, penting karena insentif pajak progresif yang diberikan selama ini supaya DHE itu lama mengendap di perbankan nasional sudah tidak lagi menarik. Padahal jika DHE ditempatkan di atas 6 bulan tarif pajaknya bisa sampai nol persen.

“Karena itu ada beberapa insentif selain pajak, kemudian tentunya dari BI sendiri kita terus masih melihat apakah insentif lainnya masih kita berikan, termasuk tadi yield yang attractive, competitive, dibanding negara lain,” tegasnya.

Selain itu, dalam program yang baru itu juga akan diberikan kemudahan untuk settlement atau penyelesaian transaksinya bagi para eksportir. Biasanya menghabiskan waktu selama 3 hari nantinya akan bisa diselesaikan dalam waktu 1 hari saja.

“Kelebihannya untuk settlement waktunya cepat, jadi kalau biasanya habiskan waktu 3 hari, untuk program ini bisa untuk 1 hari. Jadi ada berbagai fitur yang menarik dalam program ini,” tutur Destry.

Kontrol Devisa, Mungkinkah?

Terkait dengan permintaan Presiden Jokowi, Kepala Ekonom BCA David Sumual juga memandang jika otoritas ingin menerapkan kebijakan aturan menahan DHE, maka regulator bisa terbentur dengan undang-undang yang ada saat ini.

Sebagaimana diketahui, Undang-Undang mengenai Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar diatur di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999. Di dalam UU tersebut, pemerintah memberlakukan rezim devisa bebas.

David bilang, saat ini sebenarnya sudah ada aturan dari BI berupa sanksi untuk eksportir yang tidak menyimpan DHE di dalam negeri.

Pertengahan Juli lalu, BI bahkan memperpanjang batas waktu pengajuan pembebasan Sanksi Penangguhan Ekspor (SPE) hingga akhir Desember 2022.

Namun, hal tersebut dibatalkan dan BI mencabut relaksasi tersebut. Aturan wajib parkir devisa di dalam negeri ini direlaksasi oleh BI sepanjang pandemi.

Sayangnya, David melihat kebijakan itu tidak sepenuhnya berhasil. Pasalnya, para eksportir hanya memarkirkan dolarnya saja, tanpa dikonversi ke rupiah.

“Persoalannya memang banyak dana yang tidak dikonversi ke rupiah. Tidak ada aturan untuk bertahan juga. Misalnya ter-record hari ini terus besok keluar lagi, gak ada masalah,” jelas David kepada CNBC Indonesia.

Jika otoritas mau mengatur kebijakan DHE di dalam negeri, maka akan terbentur dengan aturan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999.

“Ini terbentur juga dengan aturan kaitan dengan undang-undang devisa bebas,” ujarnya lagi.

Namun, dia melihat hal ini masih bisa diupayakan dengan beberapa instrumen pendalaman finansial, seperti dengan memperdalam instrumen keuangan dengan memberikan kepastian kurs terhadap pengusaha.

David, mencontohkan, jika eksportir atau importir memiliki menaruh dornya di perbankan nasional, namun saat membutuhkan lagi dolar AS dalam beberapa bulan lagi, bisa diberikan premi khusus.

“Misal eksportir menaruh dolar saat kursnya Rp 15.700/US$. Tiga bulan kemudian dia butuh dolar namun kursnya sudah naik Rp 15.750/US$. Jadi Rp 15.750 versus Rp 15.700, itu persentasenya yang harus eksportir/importir bayar sebagai kompensasi mendapatkan kepastian kurs,” jelas David.

“Kita kan mau yang pasti-pasti, jangan sampai saya mau beli valas lagi harganya Rp 16.000/US$,” kata David lagi.

Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah memberikan solusi lain. Menurutnya, BI bisa menerapkan compulsory surrender atau penyerahan wajib DHE, dan mengkonversikannya ke rupiah.

Kebijakan compulsory surrender tersebut menurut Piter tidak bertentangan dengan kebijakan devisa bebas.

“Kebijakan devisa kita sesuai UU adalah kebijakan devisa bebas. Compulsory surrender bukan berarti mengubah kebijakan devisa bebas menjadi devisa kontrol,” ujar Piter.

Pilihan mana yang akan diambil, semua akan tergantung pada bank sentral. Namun, bisa dipastikan BI tidak akan melangkahi undang-undang dalam hal ini. Pejabat BI pun hingga saat ini belum buka suara terkait dengan arahan Presiden.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *