tribunwarta.com – JAKARTA – Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyatakan bahwa arus inovasi digital tidak hanya mendisrupsi sistem perbankan, namun juga meluas ke mata uang resmi dan kebanksentralan. Itu terutama menyusul munculnya private digital currency atau yang sering disebut cryptoassets (aset kripto) dan stablecoins.
“Masa depan bank sentral tengah berada di persimpangan,” ujar Perry pada kalimat pembuka pengantar buku Proyek Garuda, Menavigasi Arsitektur Digital Rupiah yang merupakan white paper (WP) bagi desain (high level design) pengembangan digital rupiah. Buku ini diterbitkan dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) 2022 di Jakarta (30/11/2022).
Dalam pengantar itu ia menyebutkan bahwa inovasi teknologi dan perubahan perilaku masyarakat menjadi penggerak utama dinamika tersebut. Kehadiran teknologi baru terutama web 3.0 dan distributed ledger technology makin mengeskalasi masifnya perkembangan cryptoassets dan stablecoins dengan berbagai peluang dan risikonya.
“Di satu sisi, fenomena ini berpotensi meningkatkan inklusi dan efisiensi sistem keuangan, termasuk pembayaran lintas-negara, serta menjadi fondasi decentralized finance yang menawarkan akses instan ke beragam produk keuangan. Di sisi lain, cryptoassets dan stablecoins juga membawa risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme serta transaksi terlarang,” papar dia.
Perry mengakui, penggunaan cryptoassets dan stablecoins secara masif juga dapat mempengaruhi efektivitas kebijakan bank sentral yang meliputi risiko stabilitas keuangan, shadow currency, dan shadow central banking, serta berimplikasi pada international monetary system di level global.
“Komunitas bank sentral global tentunya tidak tinggal diam. Demikian pula kami Bank Indonesia,” tegas Perry. Merespons hal tersebut, lanjut dia, berbagai bank sentral mengkalibrasi pendekatan kebijakannya dengan mulai menjajaki penerbitan central bank digital currency (CBDC) sebagai solusi future proof yang prospektif.
Sejalan dengan itu, kata Perry, di bawah Presidensi G20 Indonesia tahun 2022, bank sentral G20 bersama lembaga internasional pun merespons dinamika tersebut dengan merumuskan pengaturan dan pengawasan terhadap cryptoassets dan stablecoins dengan menekankan prinsip “same activity, same risk, same regulation”.
Bukan Perkara Mudah
Namun, menurut Perry, penerbitan CBDC bukan merupakan perkara yang mudah bagi bank sentral. Bank sentral perlu merumuskan dan menavigasi desain CBDC secara terukur dan berimbang antara asas manfaat dengan pengelolaan implikasi risikonya.
Perry menyebutkan, ada tiga hal yang perlu diperhatikan bank sentral dalam pengembangan CBDC. Pertama, desain CBDC yang memprioritaskan kepentingan publik dan tugas bank sentral. “Opsi pengembangan dapat berupa ritel CBDC yang langsung berdampak kepada masyarakat atau wholesale CBDC untuk transaksi antarbank dan lembaga keuangan lain serta dapat menjadi basis pengembangan retail CBDC,” jelas dia.
Kedua, peran CBDC dalam mendukung inklusi keuangan melalui fitur offline di daerah 3T (terluar, terdepan, dan tertinggal), berbiaya rendah, dan pemanfaatan granularitas data. Peran tersebut dapat melengkapi inisiatif digitalisasi sistem pembayaran saat ini termasuk standardisasi QR dan Open API untuk pembayaran serta pengembangan fast payment system.
Ketiga, integrasi, interoperabilitas, dan interkoneksi (3i) CBDC dengan sistem pembayaran dan infrastruktur pasar keuangan saat ini, termasuk untuk pembayaran lintas-negara. “Dalam konteks ini, Bank Indonesia akan mengembangkan CBDC Indonesia (Digital Rupiah) yang diilhami oleh tiga penggerak utama,” tutur Perry.
Ketiganya adalah pertama, mandat undang-undang bahwa Bank Indonesia adalah satu-satunya lembaga yang berwenang menerbitkan mata uang rupiah di Indonesia, bukan pihak swasta (shadow currency). Kedua, Bank Indonesia terus melakukan transformasi termasuk pada fungsi klasik pengedaran uang dalam rangka menghadapi perkembangan ekonomi dan keuangan digital yang semakin terdesentralisasi.
Ketiga, mempersiapkan infrastruktur pembayaran lintas-negara dalam menghadapi perdagangan dan keuangan internasional di era digital. “The future is here,” tandas Perry.
Melalui white paper ini, kata dia, Bank Indonesia mengeksplorasi penerbitan CBDC Indonesia dengan nama Digital Rupiah, lewat sebuah inisiatif bertajuk Proyek Garuda sebagai wadah menakar desain Digital Rupiah yang tepat. “Digital Rupiah merupakan sumbangsih Bank Indonesia kepada negara dalam perjuangan menjaga kedaulatan Rupiah di era digital,” pungkas dia.