Sejak tahun pertama pernikahan pada 2006, Astuti sebenarnya sudah merasakan hubungan rumah tangga yang toksik. Kekerasan verbal berupa umpatan yang paling kasar dari suaminya sudah menjadi makanan sehari-sehari. Tahun keempat pernikahan, Astuti sudah berniat untuk berpisah, tetapi urung karena meyakini sang suami akan berubah menjadi lebih baik. Setelah berusaha membina magligai rumah tangga selama 15 tahun, akhirnya Astuti mantap bercerai pada akhir 2021 lalu.
“Mantan suami saya 15 tahun playing victim. Dia yang salah, tapi begitu pintar bicara, atau entah karena saya yang bodoh. Saya yang sebenarnya berada di posisi benar, bisa jadi salah. Dan saya mempercayai itu. Saya salah. Saya bodoh. Saya lemah. Saya enggak bisa apa apa,” ujar Astuti ketika menceritakan satu fragmen kisah hidupnya kepada VOA.
Selain melakukan kekerasan, sang mantan suami juga acap kali menerapkan banyak aturan yang membelenggu Astuti dalam beraktivitas, bahkan bekerja. Padahal sebelumnya dia berkarir di sejumlah industri, dari penyiaran hingga perbankan. Di kehidupan sosial, suami juga melakukan pembatasan yang ekstrem. Astuti dilarang memiliki akun media sosial, memiliki aplikasi percakapan dan bahkan ia hanya bisa berkomunikasi lewat SMS. Dia juga dilarang bertemu teman-teman lamanya.
“Larangan itu tidak disertai alasan yang masuk akal, hanya karena egois saja,” kata Astuti.
Toh Astuti tetap bertahan dalam hubungan tersebut, bahkan ketika suaminya terganjal perkara hukum yang berujung harus dipenjara. Celakanya, keluar dari bui tak membuat tabiat suaminya berubah.
Alasan Bertahan dalam KDRT
Menurut Astuti, setidaknya ada empat alasan perempuan bertahan di dalam rumah tangga yang penuh kekerasan. Faktor tersebut adalah anak, ekonomi, dogma agama, dan budaya patrilineal. Namun, seluruh faktor itu ternyata bisa dia atasi setelah memilih berpisah.
“Saya tahu, banyaaaaak sekali di luar sana perempuan-perempuan yang terjebak dalam pernikahan yang sangat tidak bahagia, penuh KDRT, tetapi enggak tahu harus gimana,” kata Astuti.
Dia berharap, perempuan korban KDRT berani memulai, mencintai dan menghargai diri sendiri, berani bersikap dan melangkah, melawan ketakutan terhadap status janda.
“Jangan takut penilaian terhadap stigma “janda”. Lah emang kenapa dengan janda? Wong kita ya enggak bercita-cita untuk itu kok…,” tukasnya.
Astuti juga menegaskan, kesehatan mental, mencintai dan menghargai diri sendiri, adalah hal-hal lain yang harus menjadi faktor determinan bagi kaum perempuan untuk berani mengambil keputusan.
Terjebak Siklus KDRT
Psikiater senior, dr Ida Rochmawati Sp KJ kepada VOA mengatakan orang yang mengalami KDRT pada umumnya mengalami guncangan emosional antara marah, sedih, kecewa dan tidak berdaya. Para korban biasanya mengekspresikan emosinya secara berbeda-beda.
“Ada yang impulsif dan ekspresif, ada yang diam namun memendam luka atau justru diproyeksikan ke orang-orang sekitarnya,” ujarnya.
Sebagian korban berani berpisah dari pasangan, tetapi ada pula yang memilih bertahan. Khusus untuk keputusan kedua ini, Ida menyebut ada banyak faktor yang menyebabkan perempuan mengambil pilihan tidak berpisah. Pertama adalah ketergantungan secara psikologis, ekonomi dan sosial. Kedua, atas nama cinta sehingga korban masih memiliki harapan semua akan berubah. Ketiga, bentuk altruistik demi anak-anak dan menjaga kehormatan keluarga. Sedang kemungkinan alasan keempat adalah pikirannya termanipulasi, bahwa dirinya sebagai korban memang bersalah dan layak menerima perlakuan tersebut.
“Alasan kelima, bisa saja kekhawatiran mendapatkan stigma buruk sebagai perempuan yang tidak bisa menjaga kehormatan keluarga. Atau alasan kenam juga bisa, yaitu relasi kuasa yang menimbulkan ketakutan untuk mengambil sikap,” tegasnya.
Ida meminta semua pihak untuk mewaspadai siklus KDRT yang berulang. Dunia bukanlah tempat yang benar-benar aman untuk perempuan, termasuk dalam rumah tangga. Kekerasan, kata Ida, bisa terjadi di depan mata. Pasang surut hubungan di sebuah keluarga adalah peristiwa yang biasa. Namun, Ida menegaskan kekerasan atas alasan apapun tidak bisa dianggap biasa-biasa saja.
“Banyak perempuan terjebak dalam siklus KDRT karena relasi kuasa, ketidakberdayaan dan karena struktur sosial yang masih pro-laki-laki. Namun, bukan berarti perempuan tidak bisa bersikap,” ujarnya.
Di sisi lain, masyarakat juga tidak bisa menghakimi sikap perempuan korban KDRT dengan pilihannya sendiri. Kisah hidup seseorang, seperti selebriti yang baru saja memutuskan untuk bertahan meski menjadi korban KDRT, bisa menjadi hiburan sekaligus pembelajaran.
“Pro dan kontra adalah biasa. Namun harus disadari bahwa orang punya pergulatan hidup masing-masing,” ujar Ida.
Persoalan yang Kompleks
Pengalaman Nuryanti Dewi menangani kasus KDRT bisa membuka sudut pandang berbeda. Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Nusa Tenggara Barat pernah mendampingi tujuh perempuan korban KDRT, sekaligus melakukan wawancara mendalam kepada mereka.
“Dari tujuh itu, empat responden saya memutuskan berpisah, dan yang tiga masih tetap berlanjut dengan ketabahan. Tetapi dengan kondisi ekonomi yang seperti itu, kita tidak tahu apakah dia bisa bertahan,” kata Nuryanti kepada VOA.
Acap kali, KDRT diawali dari persoalan ekonomi. Sementara, dalam kasus di NTB, persoalan ekonomi ini kerap muncul karena pernikahan usia anak, belum paham konsekuensi menikah, berpendidikan rendah dan belum bekerja.
“Jadi, mereka rata-rata kerja serabutan dengan persoalan ekonomi, pola pengasuhan yang salah, maka itu akan menjadi pemicu terjadinya KDRT di mereka,” tambah Nuryanti.
Dalam pendampingan terhadap tujuh perempuan korban KDRT ini, Nuryanti memahami betapa kompleksnya persoalan bagi korban. Ada yang baru saja melahirkan dan kemudian ditinggal, dan ada pula yang belum lama menikah sudah ditinggalkan begitu saja, seusai KDRT terjadi. Sebagian memiliki anak, sebagian belum.
Keputusan untuk berpisah atau tidak, banyak dipengaruhi oleh keraguan terkait kondisi ekonomi setelah perceraian. Perempuan korban KDRT ini biasanya dinikahkan untuk membantu ekonomi keluarganya. Jika mereka bercerai, perempuan ini harus mencukupi kebutuhannya sendiri, kebutuhan anaknya jika sudah punya, dan tetap membantu orang tua dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Empat perempuan yang memutuskan berpisah, memahami risiko bahwa jika pernikahan dilanjutkan, mereka akan menerima kekerasan dari suaminya. Sementara yang tidak berpisah, beralasan mempertimbangkan kondisi ekonomi, terutama memenuhi kebutuhan anak.
LBH APIK NTB menyerahkan sepenuhnya keputusan bercerai atau tidak kepada perempuan, tetapi memberinya penyadaran terhadap pilihan itu.
“Ketika mereka sudah memiliki anak, tetapi mendapatkan kekerasan dalam perkawinan yang bertubi tubi, lebih baik berpisah saja. Karena nanti akan beresiko kepada anaknya juga. Banyak yang diminta bertahan demi anak, tetapi justru anak akan mendapat pola pengasuhan yang salah, karena kekerasan yang diterima orang tuanya,” ujar Nuryanti meyakinkan.
Sistem Hukum Tak Mendukung
KDRT menjadi delik aduan dalam sistem hukum di Indonesia, sehingga korban yang rata-rata perempuan langsung berhadapan dengan suami sebagai pelaku secara hukum. Beban untuk melanjutkan kasus itu, bukan berada di penegak hukum, tetapi ada di pundak perempuan tersebut. Dalam posisi seperti itulah, banyak aduan KDRT yang kemudian dicabut, setelah suami berhasil “merayu” istrinya untuk kembali rujuk.
Apa yang menimpa salah satu selebritas di Ibu Kota belum lama ini menjadi rujukan menarik atas kondisi ini.
Sukiratnasari, aktivis perempuan sekaligus pengacara dari Firma Hukum Sukiratnasari & Co, menyebut kondisi ini dipengaruhi konstruksi budaya dan agama di Tanah Air. Di masa lalu, KDRT bahkan tidak dianggap sebagai kasus hukum karena konstruksi budaya dan agama yang meyakinkan perempuan bahwa istri harus menerima apa yang dilakukan suami.
“Karena awalnya ada pasok tukon (pemberian sejumlah uang dari keluarga mempelai pria untuk perempuan -red), misalnya. Ketika laki-laki meminang, perempuan itu ya dia kuasai penuh,” katanya.
Dalam banyak tradisi, pembayaran pasok tukon semacam itu juga terjadi. Budaya itu seolah menyimbolkan istri sudah menjadi hak penuh suami. Konstruksi itulah, kata Sukiratnasari, yang membuat KDRT dulu tidak diakui sebagai perkara hukum.
Indonesia memiliki UU Penghapusan KDRT pada 2004 yang merupakan hasil dari perjuangan aktivis perempuan. Karena dilingkupi konstruksi budaya yang tidak berpihak pada perempuan, KDRT hanya masuk sebagai delik aduan. Korban harus mengadukan kepada aparat hukum untuk memperoleh keadilan. Jika aduan itu dicabut, kasus hukum gugur dengan sendirinya.
Dalam aturan hukum juga ada peran serta masyarakat. Jika tetangga mendengar seorang istri dipukuli suaminya, atau sebaliknya, maka mereka dapat turut melaporkan kepada penegak hukum. Namun, korban tetap menjadi aktor utama dalam upaya menempuh keadilan.
Perempuan yang biasa dipanggil Kiki ini mengatakan, cerita akan berbeda jika kekerasan terjadi pada anak, karena pelaku dapat langsung ditindak dengan UU Perlindungan Anak. Atau KDRT yang melihatkan kekerasan seksual, karena UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), telah mengaturnya. UU TPKS menyebut kasus kekerasan seksual harus tetap berlanjut proses hukumnya jika sudah masuk ke kepolisian.
Beban Moral KDRT
Lebih lanjut Kiki menyebut bahwa beban moral dalam kasus KDRT sepenuhnya ada di perempuan.
“Misalnya, ada pertimbangan bagaimanapun dia (pelaku-red) adalah bapak dari anaknya. Lalu yang paling berat, stigmanya di masyarakat terhadap perempuan. Misalnya dikomentari, kok tega melaporkan suaminya sendiri ke polisi. Penderitaannya perempuan akibat KDRT malah kabur karena berbagai hal itu,” ungkapnya.
Paling parah, lanjut Kiki, adalah karena ketergantungan ekonomi. Perempuan korban KDRT biasanya akan mencabut laporan, jika dia tahu bahwa secara ekonomi dia tidak mandiri.
Jika ingin kondisi ini berubah, Kiki menyebut kuncinya ada di UU PKDRT. Harus ada upaya perbaikan sehingga paling tidak perempuan korban KDRT memiliki perlindungan dan dukungan yang setara dengan korban kekerasan seksual.
“UU TPKS memberikan banyak afirmasi untuk korban, misalnya memudahkan pembuktian, memberikan dukungan untuk korban. Jadi, ada banyak fasilitas untuk melindungi korban. Kalau bisa dilakukan, ini cukup berkontribusi terhadap pencapaian akses keadilan untuk korban KDRT,” ujar Kiki.
Upaya itu penting, karena butuh proses panjang bagi perempuan untuk sampai pada titik, di mana dia duduk di kantor polisi dan melaporkan suaminya sendiri.
“Kalau kita mau konsisten melakukan advokasi terhadap perempuan dan perlindungan terhadap kekerasan, apapun yang terjadi, harusnya laporan berlanjut kasusnya,” tambahnya.
Semua faktor itu yang mendorong KDRT masih terjadi dengan jumlah kasus cukup tinggi. Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat terdapat 14.752 kasus kekerasan yang terjadi di lingkup rumah tangga pada 2021. Sedangkan hingga 30 Oktober 2022, terdapat 12.552 kasus KDRT yang dilaporkan melalui mekanisme tersebut. [ns/ah]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.