Saat ini berbagai upaya perlu dilakukan guna memperkuat Pancasila sebagai dasar hukum negara sekaligus diinternalisasi dalam proses penyusunan kebijakan dan kehidupan bermasyarakat di Indonesia.
Ketua Pusat Kajian Hukum (Puskakum) Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH-UI) Supardjo Sujadi mengatakan, seminar bertajuk Pendidikan Hukum dan Pancasila ini bertujuan untuk menggali kembali pengetahuan Pancasila sebagai bangsa dan dasar pendirian, serta cita negara, dan cita hukum yang khas.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
“Kedua, mensistematiskan Pancasila dalam bidang kajian yang otonom, dan mempersiapkannya dalam kurikulum pendidikan tinggi hukum, bahkan ke segala jenjang masyarakat. Ketiga mencoba menyikapi fenomena perubahan dunia yang berpengaruh signifikan terhadap Indonesia,” kata dia dalam keterangan, Kamis, 27 Oktober 2022.
Wakil Dekan FH-UI Parulian Paidi Aritonang menyebut, reposisi Pancasila sebagai dasar hukum negara juga menjadi sangat penting kini. Sebab, tidak dapat dihindari pascareformasi, Indonesia telah masuk ke era dimana masyarakatnya dimungkinkan untuk berinteraksi dengan berbagai nilai karena arus informasi yang beragam.
Hal ini juga berpotensi bangsa perlahan kehilangan jati diri. Kesatuan bangsa kerap diancam oleh polarisasi politik, oligarki ekonomi dan interaksi berbagai informasi yang jauh lebih sering. Sementara itu, keadilan sosial dan agama juga menjadi bahan pertengkaran dan olok-olok.
Mantan Wakil Presiden Indonesia sekaligus Dewan Pembina Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Try Sutrisno menyebut, pascarefomasi, terutama karena banyaknya cendikiawan yang baru pulang dari luar negeri, membawa semangat liberalisme dan kapitalisme yang secara tak sadar semakin mengerdilkan Pancasila.
“Anasir-anasir ini kerdil yang berpandangan bahwa gagasan dari luar negeri lebih baik dari kearifan lokal bangsa sendiri. Mereka tidak sadar bahwa nilai yang mereka bawa telah menggerogoti dan menggerus jati diri bangsa sebagai satu-satunya hak milik bangsa yang paling berharga,” ungkapnya.
Ia turut menjelaskan bagaimana hanya dalam empat tahun pascareformasi, UUD 1945 empat kali dilakukan amandemen. Aksi ini dinilai Try makin turut membuat sirna tujuan nasional untuk mewujudkan keadilan dan kemakmuran bagi bangsa dan negara sesuai Pancasila.
Era reformasi juga memang memberikan prakondisi untuk nilai asing bersentuhan lebih sering dengan ke dalam tubuh bangsa. Dalam menghadapi situasi ini, lanjut Try, ada dua pilihan yaitu diam saja dan kehilangan jati diri atau bangkit untuk memperkuat kembali jati diri.
“Di sinilah arti penting pendidikan, dan penggemblengan generasi penerus bangsa menghadapi tantangan masa depan. Bagaimana dapat diisi wawasan kebangsaan, perjuangan, dan kebudayaan,” sambung Try.
Peneliti Puskakum FH-UI Kris Wijoyo Soepandji memaparkan hasil survei yang membedah apakah Pancasila masih diakui sebagai landasan kehidupan bermasyarakat di Indonesia, serta menjadi pedoman dalam menjaga kepribadian nasional.
Dalam survei, Kris memaparkan bahwa masyarakat memang makin minim frekuensinya untuk mendengar kata-kata Pancasila. Hasilnya, sebanyak 56 persen mayoritas responden hanya mendengar Pancasila pada bulan tertentu.
“Seperti Hari Lahir Pancasila pada Juni, atau Hari Kemerdekaan Indonesia pada Agustus. Meski demikian, 90 persen responden menyatakan bahwa Pancasila masih sangat relevan sebagai pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara,” ujar dia.
Hal yang juga menarik dari survei ini adalah temuan yang menyampaikan bahwa sebanyak 98 persen lebih responden percaya bahwa pemimpin di Indonesia perlu memegang teguh nilai-nilai Pancasila.
Masyarakat sangat mendambakan pemimpin Indonesia yang mampu merefleksikan berbagai kebijakan dan prosesnya sesuai dengan nilai- nilai Pancasila melalui peraturan yang mengedepankan keadilan dan mengutamakan kepentingan rakyat.
Hal ini tentunya berkaitan erat dengan tidak lepasnya posisi para pembuat kebijakan dari berbagai pengaruh dan tekanan eksternal. Lebih daripada itu masyarakat tetap mendambakan pemimpin yang mampu mengambil sikap yang bijaksana dalam proses pengambilan keputusan- keputusannya.
“Harapan mayoritas masyarakat terhadap Pemimpin yang Pancasilais juga dikonfirmasi melalui temuan yang menyebutkan bahwa sebanyak 90 persen responden menolak adanya intervensi asing terhadap kebijakan pemerintah Indonesia,” papar Kris.
Hasil survei ini turut menunjukkan bahwa Pancasila sejatinya masih dapat menjadi pijar bagi Indonesia ditengah perjuangannya menjadi pemimpin di kancah global. Sehingga perlu satu padu dalam pengembangan Pancasila sebagai cakrawala dalam pertumbuhan ilmu hukum, salah satunya melalui kajian-kajian baru oleh para mahasiswa Fakultas Hukum.
Melalui upaya ini nilai-nilai Pancasila tidak akan tertinggal dan makin terinternalisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang juga tercermin dalam proses penyusunan kebijakan para pemimpin negara sebagai tauladan masyarakat luas.
(END)
Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.