Para menteri luar negeri negara-negara anggota ASEAN pada Kamis (27/10) mengadakan pertemuan di kantor Sekretariat ASEAN di Jakarta, khusus untuk membahas isu Myanmar, terutama soal mandeknya pelaksanaan lima poin konsensus yang dihasilkan dalam pertemuan para pemimpin ASEAN di Jakarta, April tahun lalu.
Pertemuan istimewa ini merupakan hasil dari kesepakatan para menteri luar negeri ASEAN yang mengadakan pembicaraan informal bulan lalu di New York, Amerika di sela-sela kehadiran mereka dalam sidang Majelis Umum Perserikatan bangsa-Bangsa.
Dalam jumpa pers di kantornya, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menjelaskan tujuan dari pembahasan isu Myanmar di Jakarta ini adalah untuk merumuskan masukan yang akan disampaikan kepada para pemimpin ASEAN dalam konferensi tingkat tinggi (KTT) ASEAN di Ibu Kota Pnom Penh, Kamboja, 11-13 November mendatang.
Ditambahkannya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 16 September lalu telah menyurati Perdana Menteri Kamboja Hun Sen, yang tahun ini mendapat giliran sebagai ketua ASEAN. Dalam suratnya, Jokowi menegaskan KTT ASEAN di Pnom Penh bulan depan penting untuk membahas implementasi dari lima pon konsensus.
Hun Sen menjawab dengan menugaskan para menteri luar negeri ASEAN untuk mempersiapkan agenda tersebut.
Hal itu pula yang juga melatarbelakangi pertemuan istimewa para menteri luar negeri ASEAN di Jakarta hari Kamis ini.
Menlu RI : ASEAN “Seperti Keluarga”
Retno mengatakan pertemuan khusus ini berlangsung dalam suasana sangat terbuka, banyak isu sensitif yang dibahas karena ASEAN “seperti sebuah keluarga.”
“Para menlu (menteri luar negeri) ASEAN menyampaikan keprihatinan dan kekecewaan terhadap tidak adanya kemajuan signifikan dari pelaksanaan lima poin konsensus, sangat jelas kekhawatiran dan bahkan beberapa negara menyampaikan rasa frustasinya terhadap tidak adanya kemajuan ini. Alih-alih ada kemajuan, situasi bahkan dikatakan memburuk,” kata Retno.
Menurut Retno, memburuknya krisis politik di Myanmar sangat disayangkan. Padahal lima poin konsensus yang telah dihasilkan tahun lalu bertujuan untuk membantu Myanmar mengatasi krisis politik di dalam negerinya.
Dalam pertemuan khusus para menteri luar negeri ASEAN tersebut, lanjut Retno, Indonesia menyampaikan keprihatinan atas terus meningkatnya kekerasan di Myanmar, sejak terjadi kudeta militer pada 1 Februari tahun lalu, yang sudah menewaskan banyak korban masyarakat sipil. Termasuk serangan udara militer yang dilaporkan menewaskan lebih dari 80 anggota kelompok minoritas etnis Kachin.
Indonesia mendesak junta militer Myanmar menghentikan tindakan kekerasan terhadap warga sipil karena tanpa hal itu tidak akan pernah tercipta situasi kondusif untuk menyelesaikan krisis politik di Negeri Gajah Putih itu.
Retno juga menekankan pentingnya segera melibatkan semua pemangku kepentingan di Myanmar, seperti yang dimandatkan oleh lima poin konsensus, termasuk dengan pihak junta. Dia menegaskan pelibatan pihak junta dalam upaya mencari solusi tidak ada kaitannya dengan pengakuan terhadap kudeta dilakukan oleh junta.
KTT Menteri Luar Negeri ASEAN juga membahas bantuan kemanusiaan pada rakyat Myanmar. Menurut Sekretaris Jenderal ASEAN ada komitmen sebesar US$ 27 juta untuk bantuan kemanusiaan di Myanmar, terutama untuk tahap “life saving,” kemudian tahap “life sustaining.”
Tak Pernah Ada Pembahasan Untuk Keluarkan Myanmar
Dalam jumpa pers itu, Direktur Kerjasama ASEAN Kementerian Luar Negeri Sidharto R. Suryodipuro memastikan ASEAN tidak pernah membahas rencana mengeluarkan Myanmar dari keanggotaan.
“Tidak ada pembahasan mengenai pengeluaran Myanmar (sebagai anggota ASEAN). Pembahasan selama ini selalu didasarkan atas premis ASEAn itu tetap 10, Myanmar itu tetap bagian dari keluarga ASEAN,” ujar Sidharto.
Pada intinya, lanjut Sidharto, rekomendasi yang akan disampaikan dalam KTT ASEAN bulan depan adalah kajian atas pelaksanaan lima poin konsensus yang dijalankan oleh junta Myanmar.
Meskipun pertemuan hari Kamis tetap menyediakan meja dengan bendera Myanmar, tetapi tidak ada perwakilan Myanmar yang datang. Myanmar juga akan tetap diundang dalam pertemuan penting di Kamboja bulan depan, dan jika tidak mengirim wakilnya maka mejanya akan dibiarkan kosong.
Ketika ditanya apakah akan ada tekanan yang lebih besar terhadap Myanmar, dia menjawab hal itu akan menjadi keputusan KTT ASEAN. Pastinya, ASEAN akan selalu dalam posisi bagaimana membantu Myanmar keluar dari krisis politik dalam negerinya. Jika Myanmar memilih untuk tidak dibantu oleh ASEAN, maka tidak banyak yang bisa dilakukan oleh ASEAN.
ASEAN Kehabisan Akal Hadapi Myanmar?
Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Padjadjaran Teuku Rezasyah menilai ASEAN seperti sudah kehabisan akal, tidak tahu lagi harus melakukan apa terhadap Myanmar. Isu Myanmar diperkirakan akan tetap menjadi perhatian, terlebih dalam KTT G20 dan KTT APEC bulan depan.
“Dengan tidak diundangnya kepala negara Myanmar (pemimpin junta), itu sudah merupakan sanksi sebenarnya. Tapi kita kan terbiasa tidak mengatakan itu sanksi, tapi sebenarnya itu sanksi. Kita kan tidak mau mempermalukan dia juga. Dia akan kehilangan momentum KTT G20, akan kehilangan momentum KTT APEC, dan kehilangan momentum KTT ASEAN dalam waktu dekat,” tutur Rezasyah.
Rezasyah mengakui Piagam ASEAN yang tidak memuat aturan mengeluarkan negara anggota yang melanggar Piagam ASEAN merupakan sebuah kelemahan. Menurutnya inilah saatnya untuk merevisi Piagam ASEAN, dengan membuat aturan khusus tentang sanksi yang bertahap, mulai dari yang paling lunak hingga keras. Negara yang tidak dapat diberi masukan dapat dikenai sanksi misalnya tidak diundang dalam KTT selama tiga tahun, dan sanksi bisa diubah jika anggota yang melanggar bersedia melakukan perbaikan-perbaikan mengikuti PIagam ASEAn dan hukum internasional.
Dia memandang molornya penyelesaian krisis politik di ASEAN ini telah membuat malu ASEAN dan menurunkan kredibilitas ASEAN di mata masyarakat internasional. Di samping itu, hal ini menjadikan Myanmar makin dekat dengan China. [fw/em]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.