Tuberkulosis menjadi salah satu penyakit yang belum dapat dituntaskan penanganannya di Indonesia. Pandemi COVID-19 sempat menghambat upaya itu, dan saat ini dinilai tepat untuk kembali menjadikannya salah satu prioritas.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengaku, tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang membutuhkan upaya penanggulangan bersama.
“WHO memperkirakan, 824 ribu orang Indonesia menderita TB, tetapi kita hanya dapat mengidentifikasi tidak lebih dari 600 ribu. Untuk 200 ribu penderita TB lainnya, kita tidak dapat mengidentifikasi nama dan alamatnya,” kata Budi di Bali, Kamis (27/10).
Budi berbicara di sela Pertemuan Tingkat Menteri Kesehatan Kedua (HMM) G20, yang akan berlangsung sampai besok. Indonesia memang menjadikan TB sebagai salah satu tema pembicaraan utama. Bersama China dan India, Indonesia merupakan tiga negara dengan jumlah penderita TB terbesar di dunia. “TB adalah penyakit menular, pada dasarnya kami memiliki empat kerangka kerja,” lanjut Budi.
Empat kerangka kerja yang disebut Budi adalah, pertama menyesuaikan protokol kesehatan seperti penanggulangan COVID-19. Kedua, memperkuat jaringan laboratorium deteksi penyakit. Ketiga, mengintensifkan pengawasan terhadap pasien TB. Keempat, pengadaan vaksin hingga pembentukan jejaring “orang tua asuh” bagi pasien.
“Dalam TB, protokol kesehatan adalah kita harus pastikan bahwa lingkungan kita sehat dan bersih. Biasanya TB terjadi ketika kita punya rumah yang tidak bersih dan tidak memiliki ventilasi udara yang baik,” paparnya.
Tertahan Pandemi COVID-19
Dalam kesempatan pertemuan pers secara daring dari Jenewa, Sahu Suvanand, Wakil Direktur Eksekutif Stop TB Partnership mengakui bahwa pandemi COVID-19 menyebabkan kemunduran dalam penanganan TB.
Kondisi itu tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi di sebagian besar negara dengan beban TB tinggi. Secara global, kata Sahu, dia melihat bahwa kebutuhan mendesak saat ini adalah pemulihan dari dampak pandemi COVID-19.
“Dan apa artinya? Di masa pandemi COVID-19, penderita TB yang terdiagnosis dan diobati semakin sedikit. Itu berarti, banyak penderita TB tetap di komunitas, tetap tidak terdeteksi,” ujarnya. Karena itu, ujar Sahu, kondisinya harus dibalik.
“Itu berarti, lebih banyak orang harus melakukan skrining, tes dan diagnosis TB. Itu adalah tantangan paling mendesak dan penting yang dihadapi, bukan hanya oleh Indonesia, tetapi bagi sebagian besar negara dengan kasus TB tinggi yang lain,” tambahnya.
Strateginya adalah mempercepat penurunan level COVID-19, dan kemudian bergerak cepat untuk kembali menangani TB. Penurunan penanganan yang terjadi selama pandemi, harus dibalas dengan tindakan lebih sigap, baik di Indonesia maupun di negara-negara dengan kasus TB tinggi.
Diperlukan strategi komprehensif oleh Indonesia, baik dari diagnosis, pengobatan maupun pencegahannya, kata Sahu.
Untuk bisa melakukan itu, pembiayaan adalah faktor yang penting. Skema harus ditetapkan dan harus mampu menjangkau semua orang yang membutuhkan diagnosis, pengobatan dan pencegahan. Indonesia, sebagai negara dengan begitu banyak provinsi, pulau dan sistem desentralisasi pemerintahan memiliki tantangan tersendiri.
Namun Sahu meyakini, tantangan itu bisa dijawab karena komitmen Indonesia yang tinggi. Baru dalam kepemimpinan Indonesia, TB memperoleh tempat prioritas dalam forum pertemuan G20. Sahu juga optimis, bahwa eliminasi TB pada 2030 adalah sesuatu yang bisa dicapai.
“Kita tidak pernah memiliki situasi, di mana G20 fokus dalam agenda mereka terhadap TB, seperti saat ini,” lanjut Sahu.
“Ini pertama kalinya di bawah kepresidenan Indonesia, TB menjadi bagian dari prioritas pembahasan. Ada beberapa pertemuan yang diadakan untuk TB, dan itu menunjukkan Indonesia telah berhasil menjadikan TB sebagai agenda prioritas dalam G20,” paparnya.
Sahu juga berharap, komitmen ini akan diwariskan dalam kepemimpinan G20 selanjutnya oleh India, dan diteruskan Brazil pada 2024.
Tantangan untuk Indonesia
Indonesia memang harus mempercepat upaya penanganan TB, seperti disampaikan dr. Nurul Nadia H.W. Luntungan, MPH, Ketua Yayasan Stop TB Partnership Indonesia.
“Tantangannya adalah kita perlu mempercepat semua upaya. Karena untuk infeksi TB, jika terlambat atau tidak terdeteksi, maka pengobatannya akan semakin lama dan sulit,” ujar Nurul di Bali.
Data menunjukkan, untuk mengobat pasien TB yang mengalami resistensi terhadap berbagai obat, dibutuhkan biaya sekitar 3.200 US dollar per orang. Sementara, biaya untuk mengobati pasien yang tidak mengalami resistensi obat hanya sekitar 48 US dollar.
“Bahkan jika kita dapat mengobati pasien ringan, yang berarti bahwa mereka mengalami infeksi TB tetapi belum jatuh sakit, dan kami mengobati mereka dengan pengobatan pencegahan, biayanya hanya sekitar 1 US dollar per orang,” tegas Nurul.
“Anda dapat membayangkan, bagaimana jika kita lamban bergerak, kasus TB akan terus meningkat. Itu sebabnya kita perlu bertindak cepat, dan bertindak sekarang,” ujarnya lagi.
Berbicara dalam kesempatan yang sama, Kasubdit TB Kemenkes, dr. Imran Pambudi, MPHM juga menekankan perlunya penanganan TB sesegera mungkin. Apalagi, Indonesia masih mempunyai pekerjaan rumah, karena belum menemukan penderita TB dalam jumlah cukup besar di tengah komunitas.
“Jika mereka tidak diidentifikasi, mereka tidak diobati, mereka akan menyebarkan infeksi. Itulah mengapa prinsip pertama adalah kita harus menemukan mereka, dan merawat mereka sampai berhasil. Temukan, obati, sampai sembuh,” kata Imran. [ns/ab]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.