Pojok Donasi Bikin Sistem Pemakaian Ulang Berjalan
Berawal dari kegelisahan saat mendaki, Siska Nirmala meneruskan kepeduliannya pada lingkungan lewat Toko Nol Sampah. Tanpa plastik, semua produk disajikan di stoples kaca. Kalaupun lupa membawa wadah, pembeli bisa menggunakan yang disediakan secara gratis yang juga didapat Siska tanpa membayar.
ZALZILATUL HIKMIA, Bandung
—
TAK ada plang papan nama. Juga, tanpa berbagai atribut untuk menarik pembeli. Diapit dua pohon mahoni besar, toko mungil di Kota Bandung tersebut justru terlihat seperti rumah sederhana yang menyajikan kehangatan sang pemilik saat pengunjung datang untuk berbelanja atau sekadar bertanya.
’’Emang sengaja aku, teh. Biar beda,’’ canda Siska kepada Jawa Pos saat ditemui di toko yang dinamakan Toko Nol Sampah itu pada Senin (10/10). Toko itu adalah impian lama Siska. Dibutuhkan waktu empat tahun untuk merealisasikannya, sampai akhirnya resmi beroperasi pada September 2020.
Sesuai namanya, toko berukuran 4 x 6 meter tersebut didirikan dengan konsep zero waste atau nirsampah. Tidak ada wadah plastik yang digunakan dalam kegiatan jual beli. Semua barang yang dijual disajikan di dalam stoples kaca berukuran besar.
Puluhan stoples bening itu disusun di rak kayu yang menempel di dinding. Isinya beragam. Ada bumbu masak seperti aneka kaldu, cabai bubuk, jahe bubuk, merica, dan ketumbar. Seluruhnya tertata rapi di rak bagian kanan. Sementara itu, aneka makanan kering tersedia di bagian lain. Ada mi free gluten, multigrain, aneka pasta, hingga kue-kue kering yang siap dibawa pulang.
Pelanggan pun disarankan membawa wadah sendiri seperti jar kosong atau kotak makan saat berbelanja. Termasuk tas jinjing untuk membawa hasil belanjaan. Jika wadah yang dibawa tak cukup lantaran produk yang dibeli terlampau banyak, Pieta –sapaan akrab Siska– akan menawarkan untuk menggunakan jar kaca yang disediakan olehnya. Hal itu sudah diantisipasinya, termasuk kantong belanja yang kadang lupa dibawa pembeli.
Karena itu, dia menginisiasi pojok donasi di salah satu sudut toko. Pojok tersebut diisi dengan kantong kain yang digantung rapi. Ada pula jar kaca bekas hingga kardus bekas. Semua barang itu diperoleh dari donasi masyarakat.
’’Kalau ada yang nggak bawa wadah atau kantong, bisa manfaatin itu, enggak usah bayar. Nanti pas datang lagi dibalikin. Enggak dibalikin juga nggak apa sih, kan aku juga dapetnya gratis,’’ papar Siska yang pernah bekerja sebagai jurnalis.
Sistem donasi itu ternyata berjalan baik. Orang-orang sangat terbantu menyisihkan kantong belanjaan mereka yang menumpuk di rumah. Pasalnya, sejumlah daerah telah menerapkan kebijakan tanpa kantong plastik saat berbelanja. ’’Ini bikin sistem reuse (pemakaian ulang) berjalan. Tidak setiap beli apa-apa harus beli kantong baru. Walaupun bukan plastik, akan numpuk kalau sistem reuse-nya tidak diterapkan,’’ ungkapnya.
Sayang, program donasi tersebut kerap disalahgunakan. Ada saja orang yang mengirim donasi ’’plus-plus’’. Tak jarang donasi dikirim bersama barang-barang lain di luar ketentuan. Mulai taplak, kantong kain yang sudah putus talinya, hingga sisipan-sisipan lain. Seolah jadi ajang ’’sekalian buang barang’’.
Untung, makin hari, kejadian itu kian berkurang. Siska menerapkan sistem kurasi sebelum barang donasi dikirimkan. Dia meminta barang yang akan dikirim untuk difoto lebih dulu. Tujuannya, mengantisipasi risiko barang yang tak diinginkan.
Selain pojok donasi, ada pula pojok free yang diisi botol-botol minum dan alat makan. Di sampingnya lagi ada pojok thrift untuk penjualan barang-barang bekas.
Berjalan sekitar dua tahun, Toko Nol Sampah jauh dari niat mencari cuan. Siska benar-benar menjadikan tokonya sebagai salah satu cara untuk mempromosikan konsep zero waste atau meminimalkan sampah yang sudah 10 tahun diterapkannya.
Toko itu bahkan didirikan saat Siska baru saja mengundurkan diri dari pekerjaan lamanya. Dia sadar, ketika ingin merealisasikan mimpi, harus ada yang dilepaskan. Dia tak mungkin setengah-setengah pada hal yang dikerjakan.
Siska sudah memperkirakan bahwa toko itu tak akan menghasilkan cuan di awal. Bahkan tak hanya setahun perjalanan, mungkin hingga dua tahun kemudian. Sayang, cobaan benar-benar menghantam. Pandemi Covid-19 datang. Sempat tertunda di awal tahun, dia pun meneguhkan diri untuk kembali meraih mimpinya.
’’Toko ini aku mulai dengan kesadaran. Baik soal mimpiku mengenai toko zero waste maupun risiko-risikonya. Pasarnya segmented sampai nyari supplier-nya gimana,’’ ucap alumnus Universitas Pendidikan Indonesia tersebut.
Gaya hidup zero waste memang bukan hal baru. Konsepnya sudah diketahui banyak orang. Namun, tak banyak yang menerapkannya secara penuh. Berbekal tekad, Pieta pun memasarkan Toko Nol Sampah dari mulut ke mulut. Berjejaring di komunitas.
Siapa sangka, di Bandung, pasarnya lumayan. Karena belum banyak juga toko serupa. Kini, Siska memiliki lebih dari 50 pelanggan di sekitar Bandung yang bisa datang 4–5 kali seminggu. Bahkan, sudah ada investor yang melirik konsep toko itu dan menawarkan kerja sama untuk pengembangannya.
Namun, yang jadi pekerjaan rumah justru di sisi supplier. Tidak semua penjual mau mengubah kebiasaannya bertahun-tahun mengenai konsep kemasan tersebut. Sudah biasa menjual satuan, agak repot kalau harus mengubah sistem jadi kiloan.
Perjalanan Siska dengan nol sampah itu bermula pada 2012. Diawali dengan kegelisahannya ketika melihat ribuan sampah yang berserakan saat mendaki gunung, dia pun tergerak menerapkan gerakan Zero Waste Adventure (petualangan tanpa sampah) di setiap perjalanannya menyapa puncak-puncak gunung di tanah air.
Siska mengaplikasikannya dengan cara membawa bekal tanpa kemasan plastik atau yang berpotensi menjadi sampah baru. Itu pun tak sekadar memindahkan makanan instan ke dalam wadah.
Dia benar-benar mengemas bekal makanan segar yang tak berpotensi menjadi sampah baru. Selain itu, dia mengganti kudapan yang biasa dikemas satuan dengan sayur atau buah. Botol minum kemasan sekali buang sudah pasti dieliminasi sejak awal.
Kini, petualangan di puncak-puncak tertinggi itu mulai diaplikasikan di sekitar rumahnya. Bukan hanya Toko Nol Sampah, tapi juga tetangga sekitar. Beberapa tetangganya sedikit demi sedikit mulai tertarik dengan konsep nol sampah itu. ’’Saya dengan tangan terbuka menyambut mereka yang ingin bertanya dan menerapkan,’’ imbuhnya. (*/c18/ttg)
Artikel ini bersumber dari www.jawapos.com.