PBB telah menjalin kontrak kerja sama bernilai puluhan juta dolar dengan perusahaan-perusahaan yang terkait dengan individu-individu yang didukung pemerintah Suriah yang dikenai sanksi atas pelanggaran HAM, menurut sebuah laporan oleh dua kelompok nonpemerintah.
Laporan itu dikeluarkan oleh dua organisasi nirlaba, Observatorium Jaringan Politik dan Ekonomi, dan Program Pengembangan Hukum Suriah pada hari Selasa (25/10).
Laporan tersebut menganalisis 100 pemasok teratas PBB di Suriah pada tahun 2019 dan 2020, dan menyimpulkan bahwa hampir setengah dari kontrak yang dijalin PBB selama dua tahun itu adalah dengan pemasok-pemasok yang terlibat dalam pelanggaran HAM atau mungkin diuntungkan oleh kontrak-kontrak itu.
Hampir seperempat dari kontrak yang diperoleh PBB selama dua tahun itu – atau senilai total sekitar $68 juta, jatuh ke perusahaan-perusahaan yang dimiliki, atau sebagian dimiliki, oleh individu-individu yang dikenai sanksi oleh Amerika Serikat, Inggris atau Uni Eropa terkait pelanggaran HAM.
Di antara mereka adalah Fadi Saqr, yang dekat dengan Assad dan mengepalai Pasukan Pertahanan Nasional di Damaskus, milisi propemerintah yang mengeksekusi puluhan tahanan yang ditutup matanya pada tahun 2013 dan mengubur mereka di kuburan massal di dekat ibu kota Suriah.
PBB mengatakan kepada Associated Press bahwa mereka mengetahui laporan tersebut dan akan segera mengomentari temuan itu.
“Proses pemeriksaan latar belakang oleh badan-badan PBB tidak berjalan semestinya,” kata Eyad Hamid, seorang peneliti senior di Program Pengembangan Hukum Suriah, kepada Associated Press.
Kedua kelompok advokasi HAM itu menuduh pemerintah Suriah dan afiliasi-afiliasinya menahan atau menyedot bantuan yang seharusya diberikan kepada keluarga-keluarga di daerah yang dikuasai oposisi atau memanipulasi nilai tukar untuk meningkatkan kas negara.
“Kami memahami bahwa bantuan tidak dapat dikirimkan di Suriah tanpa biaya. … Pertanyaan saya adalah tentang bagaimana kita dapat meminimalkan biaya itu,” Karam Shaar, manajer program Suriah di Observatorium Jaringan Politik dan Ekonomi mengatakan kepada Associated Press. ”Saya pikir sekarang sudah pasti bahwa biaya melakukan bisnis melalui PBB di Suriah yang dikuasai rezim sejauh ini adalah yang tertinggi dibandingkan dengan bantuan yang diberikan oleh organisasi-organisasi lain di wilayah-wilayah yang dikendalikan lainnya.”
Pemberontakan Suriah yang berubah menjadi perang saudara yang dimulai pada tahun 2011 telah menewaskan ratusan ribu orang dan membuat setengah dari populasi praperang negara itu sebanyak 23 juta orang mengungsi. Lebih dari 80 persen warga Suriah sekarang hidup dalam kemiskinan, dan sebagian besar penduduknya bergantung pada bantuan kemanusiaan.
Presiden Suriah Bashar Assad, dengan dukungan militer dari Rusia, Iran dan kelompok militan Lebanon Hizbullah sejak itu mampu merebut kembali sebagian besar negara itu. Tapi Suriah terus bergulat dalam krisis ekonomi yang melumpuhkan. Baru-baru ini, wabah kolera yang telah menginfeksi sekitar 20.000 orang, menegaskan betapa besarnya ruang lingkup krisis di negara itu. [ab/uh]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.