Anggota DPR Komisi IX, Irma Suryani Chaniago meminta pemerintah sesegera mungkin menemukan penyebab perebakan luas gangguan ginjal akut. Dia mengapresiasi pemerintah yang akan segera menyediakan fomepizole untuk menekan kasus gangguan ginjal akut itu. Namun, dengan pemilihan obat itu, pemerintah ujar Irma seharusnya sudah tahu penyebab kondisi ini.
“Menjadi pertanyaan saya, kalau memang penyakit ini sudah ada obatnya, tentu harusnya sudah ditemukan penyebabnya,” ujarnya Forum Diskusi Denpasar 12, yang diselenggarakan Wakil Ketua MPR, Dr Lestari Moerdijat, Rabu (26/10).
Irma memiliki ada sejumlah catatan bagi BPOM maupun kementerian kesehatan, berdasar data yang dia miliki. Pertama, harus diselidiki apakah gangguan ginjal akut terjadi karena penggunaan etilen glikol yang melebihi ambang batas ataukah perusahan farmasi melakukan penggantian formula. Irma curiga karena kini ada produk etilen glikol dari India yang lebih murah dibanding produksi dalam negeri.
“Bisa juga kemungkinan ketiganya, karena persoalan efisiensi produksi, maka kemudian ada yang meningkatkan penggunaan etilen glikol,” ujarnya.
Setelah masa reses periode ini, lanjut Irma, DPR akan mengundang BPOM dan Kementerian Kesehatan untuk meminta penjelasan.
Irma meminta Kementerian Kesehatan dan BPOM duduk bersama mengatasi persoalan, agar tidak merugikan seluruh pihak terkait, baik produsen maupun masyarakat. Namun, jika memang ditemukan fakta adanya pelanggaran ketentuan, DPR mendorong pemerintah bersikap tegas.
“Jangan segan-segan Kementerian Kesehatan maupun BPOM menindaklanjutinya ke ranah hukum. Harus ada efek jera,” tegasnya.
Komite Nasional Keselamatan Pasien : Perlu Edukasi Pengobatan yang Aman
Tindakan segera untuk mengatasi persoalan dan menyelidiki gangguan ginjal akut ini secara menyeluruh dan hati-hati juga ditekankan dr Bambang Tutuko Sp An KIC, Ketua Komite Nasional Keselamatan Pasien.
“Melakukan investigasi dengan metode baku untuk mencari penyebab yang benar. Tidak menuduh atau menyalahkan, cari dengan evidence based,” tegasnya.
Langkah lain adalah edukasi dan literasi kepada masyarakat, tentang pengobatan yang aman. Organisasi Kesehatan Dunia WHO, kata Bambang Tutuko, sudah menggaungkan ini dengan menyediakan aplikasi yang bisa digunakan masyarakat.
“Masyarakat perlu tahu, bagaimana pengobatan yang aman. Apa saja yang harus ditanyakan, interaksinya bagaimana, dan selanjutnya,” ujarnya.
KPAI : Tantangan Lebih Berat di Daerah Tertinggal
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga meminta percepatan investigasi kasus ini. Komisioner KPAI, Dr Jasra Putra menyebut, dimungkinkan obat-obat yang bermasalah sudah terbeli dan tersimpan di rumah-rumah.
“Bagaimana memastikan, peredaran obat yang dirilis oleh BPOM itu sudah ditarik sampai di rumah anak Indonesia. Artinya peredaran obat yang dijual bebas ini tentu sudah ada di rumah anak Indonesia ada bagaimana memastikan obat ini tidak dikonsumsi oleh anak-anak kita,” tegas Jasra.
Tantangan akan lebih berat lagi di daerah-daerah tertinggal, terdepan dan terluar atau yang sering disebut 3T karena keterbatasan akses informasi.
“Perlu peningkatan edukasi dan sosialisasi terkait penanganan dan deteksi dini, agar tidak semakin banyak korban berjatuhan,” ujarnya.
Kementerian Kesehatan juga didaulat untuk segera bertindak di 26 provinsi yang melaporkan kasus gangguan ginjal akut, terutama karena pemerintah telah menyediakan obatnya.
“Kita berkejaran dengan upaya menyelamatkan nyawa anak-anak kita,” tambah Jasra.
Lebih penting ke depan adalah peningkatan upaya pengawasan oleh BPOM, baik terhadap obat maupun makanan, terutama yang dikonsumsi anak-anak. KPAI juga memandang perlu ada evaluasi terkait mekanisme pengawasan obat oleh BPOM sehingga bahan-bahan yang dilarang tidak masuk ke dalam obat, dan tidak ada industri farmasi yang “nakal”.
IDAI Serukan Pengawasan Ketat
Sementara dr Bambang Sudarmanto Sp A(K) MARS, dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) memandang, regulasi dibutuhkan, agar semua pihak bisa bergerak untuk kepentingan publik maupun kepentingan produsen.
Dia menilai ada satu ketentuan dalam tata kelola industri farmasi yang butuh peninjauan, yaitu tentang pengawasan. “Salah satu pasal mengatakan bahwa pemegang izin edar itu bertanggung jawab terhadap pemantauan pengawasan obat. Itu kan pembuat, pemilik ijin, meskipun dia sudah mendapatkan sertifikasi dan lain-lain, dia akan mengawasi dirinya sendiri,” kata Bambang.
Karena itu muncul pertanyaan, bagaimana pihak yang melakukan produksi sekaligus melakukan pengawasan terhadap dirinya sendiri.
“Oleh karena itu, perlu adanya perbaikan-perbaikan di dalam peninjauan kembali tentang regulasi-regulasi yang sudah ada,” imbuhnya.
Usulkan Perbaikan Regulasi
Kepala BPOM, Dr Penny K Lukito turut mengusulkan adanya perbaikan regulasi, khususnya terkait bahan propilen glikol (PG) dan polietilen glikol (PEG). Keduanya diduga menjadi jalan cemaran yang menyebabkan gangguan ginjal akut ini.
“Kami mengusulkan, melakukan revisi regulasi terkait pemasukan bahan tambahan PG dan PEG dan pengawasan peredarannya, dimana Badan POM juga diberikan kesempatan untuk bisa melakukan pengawasan di awal, dari pemasukan, dari bahan-bahan tambahan PG dan PEG tersebut,” tandasnya.
BPOM juga meminta adanya perkuatan regulasi farmakope, untuk pengawasan pre dan post market, dikaitkan dengan cemaran di produk jadi. Lembaga ini juga mendorong industri farmasi sebagai tangan pertama menjamin kontrol kualitas dari produk yang mereka hasilkan.
“Dalam hal ini industri farmasi juga harus dimintakan pertanggungjawabannya. Selama ini masyarakat, setiap ada masalah langsung ke BPOM,” ujar Penny.
Penny menekankan, BPOM memberikan jaminan dari sisi regulasi, terkait segala standar yang sudah ditetapkan dan melakukan pengawasan. Namun, yang pertama memegang kewajiban adalah dunia industri sendiri.
“Kalau itu tidak dilakukan, maka aspek-aspek penegakan sanksi administrasi ataupun penegakan pidana bisa kita lakukan,” tegas Penny.
Penny juga memaparkan, BPOM telah melakukan penelusuran data registrasi seluruh produk obat berbentuk sirop dan drops yang terdaftar. Sebanyak 133 sirop obat tidak menggunakan propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol dan atau gliserin sehingga dinyatakan aman. Dari pengujian, sebanyak 5 dari 38 sampel atau 13 persen sirop obat ditemukan mengandung cemaran etilen glikol atau dietilen glikol melebihi ambang batas.
Sementara hasil penelusuran data 102 obat oleh Kemenkes, diperoleh data 23 produk tidak menggunakan propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol dan atau gliserin. Tujuh produk dilakukan pengujian dan dinyatakan aman digunakan sesuai aturan pakai. Tiga produk pengujian mengandung etilen glikol dan dietilen glikol, seperti sudah diumumkan. Sedangkan 69 produk masih dalam proses pengujian laboratorium. [ns/em]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.