Sejumlah aktivis dari empat organisasi non-pemerintah, yaitu: Indonesia Corruption Watch (ICW), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Perkumpulan untuk Pemilihan Umum dan Demokrasi (Perludem), dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia(Walhi) – sepakat menilai kinerja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam fungsi legislasi dan fungsi pengawasan selama 2019-2022 lemah.
Hal itu mereka sampaikan dalam sebuah diskusi di kantor ICW di Jakarta, Rabu (26/10). Koalisi masyarakat sipil ini mencatat capaian legislasi DPR tahun ini tidak begitu membanggakan. Data per Agustus lalu, dari 40 Rancangan Undang-undang (RUU) dalam program legislasi nasional prioritas, baru 12 RUU yang disahkan. Sejumlah legislasi yang dihasilkan DPR bahkan amat kental muatan kepentingan politiknya.
Dalam fungsi pengawasan, koalisi masyarakat sipil melihat peran DPR tidak kelihatan. Konsolidasi politik dengan payung koalisi pemerintah menciptakan situasi bias dalam melayangkan kritik kepada eksekutif, terutama terhadap penegak hukum di tengah situasi paceklik keadilan.
ICW : Banyak Aturan Untuk Berantas Korupsi Tak Kunjung Dibahas DPR
Peneliti di Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menjelaskan dalam fungsi legislasi, ada banyak sekali undang-undang yang sebenarnya dibutuhkan oleh penegak hukum sebagai suplemen untuk pemberantasan korupsi tapi sepertinya sengaja dilewatkan oleh DPR atau tidak dibahas, apalagi diundangkan.
Kurnia mencontohkan dalam konteks penegakan hukum ada kebutuhan untuk mengundangkan Rancangan Undang-undang (RUU) Perampasan Aset, RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal, ada urgensi untuk merevisi Undang-undang Tindak Pidana Korupsi tetapi hal itu tidak diprioritaskan oleh DPR.
Dia juga menyoroti mengenai isu menciptakan Pemilu 2024 yang berintegritas terkait pendaftaran calon anggota legislatif tahun depan. “Namun ada permasalahan di sana karena Undang-undang Pemilu masih membuka celah bagi terpidana kasus korupsi itu masih bisa namanya tercantum di dalam surat suara di tahun 2024 atau masih bisa mencalonkan diri sebagai anggota legislatif,” kata Kurnia.
Dalam fungsi pengawasan pun, lanjutnya, DPR tidak berupaya mempertanyakan atau memberikan rekomendasi untuk memperbaiki makin rendahnya kepercayaan publik terhadap kinerja penegak hukum. Untuk itu tambahnya pada satu tahun terakhir ini anggota DPR harus menitikberatkan fungsi legislasi kepada penguatan pemberantasan korupsi. Caranya dengan segera membahas serta mengundangkan tunggakan peraturan yang menjadi suplemen penegak hukum dalam memberantas korupsi.
ICW juga menyoroti rendahnya integritas anggota DPR. Hal ini terlihat dari sedikitnya anggota DPR yang melaporkan harta kekayaan mereka ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
KontraS Soroti Lambatnya Reformasi Peradilan Militer
Dalam jumpa pers itu, Tioria Pretty Stephanie, Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Kontras, menyoroti lemahnya fungsi pengawasan yang dilakukan DPR terhadap Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Dalam sejumlah rapat, Komisi III DPR lebih memuji kinerja Polri ketimbang mengkritik meski banyak kekerasan dilakukan aparat kepolisian, terakhir adalah kasus penembakan gas air mata ke arah tribun penonton di Stadion Kanjuruhan, Malang yang menewaskan lebih dari 130 orang.
“Begitu banyak kekerasan aparat yang terjadi tetapi tidak ada evaluasi yang benar-benar diberikan oleh DPR untuk, penggunaan kekuatan yang berlebihan yang dilakukan oleh kepolisian, ini bukan baru pertama kali. Ini pasti akan terjadi lagi di masa yang akan datang kalau penanganan masih kayak gini-gini aja,” ungkap Tioria.
KontraS juga menyoroti reformasi peradilan militer. Menurut Tioria, Undang-undang TNI tahun 2004 sudah mengamanatkan aparat TNI yang melakukan tindak pidana harusnya diadili di pengadilan umum bukan di pengadilan militer. Tapi sampai sekarang DPR tidak pernah merevisi Undang-undang TNI tersebut.
Baleg DPR : Kualitas Legislasi Tak Bisa Dibandingkan dengan Jumlah
Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR yang juga anggota Tim Reformasi Parlemen Willy Aditya mengatakan kualitas legislasi tidak bisa diperbandingkan lurus dengan target jumlah dan sebaliknya.
“Pengusul RUU baik dari fraksi, komisi maupun perorangan punya konsentrasi common goods yang berbeda dan bagus-bagus. Lantas bagaimana kita membatasinya? Ini yang perlu dipikirkan bersama,” kata Willy dalam pesan WhatsApp.
Terkait fungsi pengawasan, Willy menjelaskan hasil pengawasan DPR tidak dapat serta merta dieksekusi menjadi perbaikan. Hal inilah yang seringkali dihadapi oleh anggota DPR ketika reses misalnya para anggota DPR terus berusaha memperbaiki mekanisme agar fungs ini berjalan hingga memberi manfaat bagi publik.
Meski demikian Willy menilai catatan dari masyarakat sipil merupakan hal yang positif, penanda keinginan untuk bersama-sama terlibat dalam produksi kebijakan. [fw/em]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.