Serangan terhadap Konde.co tercium pada pukul 16.31 pada Senin, ketika laman tersebut tidak bisa diakses. Tim teknologi informasi Konde.co kemudian menemukan, adanya serangan DDoS yang ditandai dengan aktivitas penggunaan bandwidth sangat padat dan meningkat drastis.
Pemimpin redaksi Konde.co, Luviana, mengatakan serangan masih dirasakan hingga pukul 23.00 pada Senin malam. Meski kemudian, akses ke laman tersebut pelan-pelan dapat dipulihkan. Pada Selasa, laman yang khusus menyampaikan laporan-laporan dalam perspektif perempuan ini relatif dapat diakses dengan normal.
“Bagi Konde, ini bukan yang pertama. Tetapi kalau serangan DDoS ini memang yang pertama, yang dulu akun twitter kita di-hack, akun twitter kita hilang,” ujar Luviana kepada VOA.
DDoS adalah distributed denial-of-service. Situs Microsoft menjelaskan, serangan ini menargetkan laman dan peladen (server) dengan mengganggu layanan jaringan. Pelaku mengirimkan lalu lintas yang keliru ke laman yang dia serang. Laman yang mengalami serangan tidak akan mampu berfungsi secara normal, dan bahkan terputus dari jaringan atau mati pada titik tertentu.
Pelaku Penyerangan Belum Diketahui
Laman Konde.co menurunkan laporan pada 24 Oktober 2022 tentang perkosaan yang terjadi di lingkungan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM). Laporan itu berjudul : Kekerasan Seksual Pegawai Kementerian: Korban Diperkosa dan Dipaksa Menikahi Pelaku. Empat pegawai kementerian tersebut, diduga menjadi pelakunya.
Sejauh ini, Luviana mengaku tim teknologi informasi belum bisa mengidentifikasi terduga pelaku.
“Kita belum bisa diperkirakan, ada yang mau bantu untuk melihat, tetapi belum bisa melihat siapa penyerangnya,” tegasnya.
Dia juga membuka kemungkinan, bahwa serangan semacam ini dilakukan oleh seseorang secara pribadi, tanpa melibatkan institusi di mana dia bekerja.
“Kita tidak menyimpulkan (siapa pelakunya-red), tetapi intinya bahwa kekerasan seksual adalah kasus yang sangat sensitif, dan bahwa ini melibatkan banyak pelaku,” tambahnya.
Luviana mengaku prihatin atas serangan tersebut karena media yang melaporkan kasus kekerasan seksual, yang banyak dialami oleh perempuan di Indonesia, justru mendapatkan masalah atas laporannya.
“Kami menyerukan pada media di Indonesia untuk tidak surut dalam memberitakan kekerasan seksual dan menolak segala bentuk kekerasan termasuk, kekerasan digital yang menyerang media,” ujarnya.
Seluruh pihak, lanjut Luviana, harus memahami bahwa ini adalah serangan ke media yang ingin membuka kasus-kasus yang tertutup atau tidak terpublikasi. Padahal media memiliki fungsi untuk menjamin keterbukaan informasi.
“Serangan ini menandakan bahwa semua pihak harus paham literasi, dan harus memahami bahwa media menjadi bagian dari perjuangan publik,” tandasnya.
Keprihatinan Sejumlah Pihak
Ade Wahyudin dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menyayangkan apa yang dialami laman Konde.co.
“Kalau misalkan memang ada yang keberatan terhadap pemberitaan, harusnya mekanismenya adalah hak jawab, hak koreksi atau bahkan pengaduan ke Dewan Pers,” ujarnya kepada VOA.
“Bukan malah menghambat kegiatan jurnalistik di Konde.co. Kalau ada masyarakat yang merasa dirugikan, gunakanlah jalur-jalur mekanisme yang tersedia,” lanjutnya.
Tentu tidak mudah untuk langsung menyimpulkan, bahwa laporan kekerasan seksual mendorong seseorang melakukan serangan terhadap laman media. Namun, Ade mencatat, di Indonesia setidaknya memang ada tiga isu utama yang sering menjadi alasan serangan terhadap media.
“Di beberapa kasus, yang cukup parah itu isu korupsi. Kemudian isu terkait dengan kejahatan lingkungan, dan akhir-akhir ini yang sering adalah isu kekerasan seksual,” papar Ade.
Serangan semacam itu, terjadi baik terhadap media arus utama, maupun pers mahasiswa di kampus.
Apapun alasannya, kata Ade, upaya menghambat aktivitas jurnalistik adalah pelanggaran Undang-undang Pers. Indonesia sudah memiliki undang-undang tersebut, dan berlaku sehingga publik secara umum dianggap mengetahui dan harus menghormatinya.
Ade yakin, pers Indonesia telah menerapkan mekanisme hak jawab yang memadai. Di setiap laman, tersedia kanal dimana masyarakat dapat menyampaikan respon terkait produk jurnalistik.
“Di laman Konde.co, juga tersedia. Untuk menyampaikan keberatan, ada email yang bisa digunakan kan bisa melalui itu.Dan itu belum ditempuh,” tandasnya.
Kecaman juga datang dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta.
“Kami, dari AJI Jakarta mengecam serangan DDoS terhadap situs Konde.co. Serangan ini adalah bentuk pembungkaman terhadap kebebasan pers,” kata Ketua AJI Jakarta, Afwan Purwanto, Senin (24/10).
Afwan setuju bahwa situasi kasus kekerasan seksual di Indonesia berada dalam kondisi darurat, sehingga perlu perhatian besar dari media. Namun, media yang menulis tentang isu kekerasan seksual juga tidak lepas dari tantangan dan persoalan. AJI Jakarta meminta media di Indonesia tidak surut dalam melaporkan isu-isu semacam ini.
AJI jakarta juga mengingatkan bahwa kerja jurnalistik yang dilakukan oleh awak media, termasuk Konde.co dilindungi oleh Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Pasal 18 UU Pers menjelaskan sanksi pidana bagi orang yang menghambat atau menghalangi jurnalis dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik. Adapun ancaman pidananya yaitu penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp500 juta,” tambah Afwan. [ns/rs]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.