Kasus kekerasan terhadap dua orang siswa di Poso yang dilakukan oleh seorang guru tak berujung ke jalur hukum setelah mediasi yang berlangsung antara orang tua murid, siswa dan pelaku berakhir dengan kesepakatan damai.
Namun, sang guru pelaku kekerasan tetap akan mendapatkan hukuman berupa sanksi disiplin, ujar Kepala Cabang Dinas Pendidikan dan Menengah Provinsi Sulawesi Tengah Wilayah III Kabupaten Poso dan Tojo Una-Una, Alwi Achmad Musa.
Kepada VOA, Alwi mengatakan bahwa pihaknya tetap akan menindaklanjuti kasus tersebut dengan membentuk tim untuk menentukan jenis sanksi yang akan dijatuhkan terhadap guru tersebut. Ia mengacu kepada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
“Sanksi pasti ada cuma kan di dalam PP 94 itu dan juga dalam pelanggaran pegawai negeri sipil, itu sanksinya terdiri dari tiga kategori, ringan, sedang dan berat, maka dibentuk tim untuk menakar ini masuk dalam kategori yang mana,” jelas Alwi seusai mediasi berlangsung di SMA Negeri 2 Poso, pada Senin (17/10).
Dalam sebuah rekaman video yang viral di media sosial pada minggu lalu, terlihat Yanto Porayouw, guru sekaligus wali kelas X di SMA Negeri 2 Poso, melakukan aksi kekerasan fisik terhadap dua siswanya yang duduk di bangku kelas 10.
Kepala Sekolah SMA Negeri 2 Poso, Sujito Suman menjelaskan peristiwa itu terjadi pada Kamis (13/10) ketika Yanto tengah mencari lima siswa yang tidak masuk kelas pada saat jam belajar. Tiga siswa yang dipanggil segera kembali masuk ke kelas, sedangkan dua siswa lainnya yang menjadi sasaran kemarahan Yanto, baru menyusul kemudian.
“Tetap apapun kenyataannya tindakan yang sudah dilaksanakan itu keliru, tidak tepat, salah. Jadi kita memang harus lebih bersabar lagi ke depannya, bagaimana mengolah emosi semakin baik ke depan,” kata Sujito.
Menurutnya, kasus tersebut menjadi pembelajaran akan pentingnya penguasaan emosi bagi guru di sekolah itu. Sekolah seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi anak-anak untuk belajar dan mengembangkan potensi diri mereka.
Tidak Berlanjut Ke Proses Hukum
Dengan suara penuh penyesalan, Yanto menyampaikan permohonan maaf atas tindakan kekerasan yang dilakukannya terhadap dua muridnya.
“Upaya saya dalam mendisiplinkan anak (murid) saya, saya telah menggunakan cara yang salah dan keliru. Tidak ada lagi yang bisa saya utarakan. Saya mohon maaf kepada semua pihak, terutama kepada dua anak saya dan juga kepada kedua orang tua,” ungkap Yanto dalam pertemuan di SMA Negeri 2 Poso.
Dalam pertemuan yang dihadiri berbagai pihak di antaranya perwakilan dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Poso, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Persatuan Guru Republik Indonesia dan Komite Sekolah menghasilkan mencapai empat poin kesepakatan, salah satunya pihak keluarga memaafkan oknum guru tersebut.
Pihak Kepolisian Resor Poso menyatakan pihak keluarga tidak ingin melanjutkan kasus kekerasan itu ke ranah hukum.
“Kedua orang tua dari korban ini, tidak akan membawa kasus ini dalam segi hukum lagi,” kata Kasat Reskrim Polres Poso, Iptu Anang Mustaqim.
Sekolah Perlu Bentuk Tim Pencegahan Kekerasan
Dihubungi secara terpisah, Penasihat program perlindungan anak Save the Children Indonesia Yanti Kusumawardhani menyarankan sekolah atau satuan pendidikan membentuk tim pencegahan tindak kekerasan di lingkungan sekolah dengan mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.
“Tugas dari tim pencegahan tindak kekerasan ini adalah mengkoordinir dan memantau pelaksanaan kewajiban-kewajiban satuan pendidikan atau sekolah dalam upaya pencegahan tindak kekerasan,” kata Yanti, pada Kamis (20/10). Menurutnya sekolah juga perlu menerapkan apa yang disebutnya sebagai disiplin positif.
Merujuk situs ayoguruberbagi.kemdikbud.go.id, disiplin positif adalah disiplin tanpa ancaman atau tanpa hukuman. Disiplin positif dapat dibuat melalui kesepakatan antara guru dan siswa, agar siswa merasa terlibat dan bertanggung jawab dalam menjalankan kesepakatan itu.
Yanti menekankan agar orang tua, guru, dan siswa untuk tidak ragu melaporkan semua bentuk kekerasan baik di dalam maupun di luar lingkungan sekolah. Pelaporan itu dapat disampaikan kepada Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, pekerja sosial dan aparat penegak hukum. [yl/rs]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.