Berbulan-bulan menjalani perawatan akibat kerusakan organ tubuh, Suyanto menemukan kenyataan pahit ketika melanjutkan hidup. Sari Club tempatnya bekerja sebagai staf senior sudah hancur. Beberapa bagian tubuhnya mengalami cacat, termasuk telinganya yang tidak bisa mendengar dengan normal. Mencari pekerjaan bukanlah proses yang mudah, apalagi di tengah kondisi sektor pariwisata Bali yang turut terdampak.
“Setelah normal, mulailah saya berpikir mencari kerja. Tapi dengan keadaan seperti ini, saya mencari kerja nggak dapat. Dengan keadaan yang telinga saya belum seratus persen. Itu mulai enggak ada pemasukan selama sekian tahun,” tutur Suyanto, Kamis (20/10).
Suyanto berbicara dalam diskusi memperingati 20 tahun tragedi Bom Bali yang diselenggarakan Sekolah Kajian Stratejik Global, Program Studi Kajian Terorisme, Universitas Indonesia.
“Itu yang saya rasakan. Ekonomi itu yang utama. Jadi, setelah kejadian, untuk tahun pertama terus terang saya makan uang tabungan, dan perlahan setelah tabungannya habis motor otomatis terjual. Untuk tahun pertama, ada sekian motor terjual habis,” ujarnya.
Tahun pertama juga menjadi ujian berat dari sisi mental. Suyanto mengaku mengalami kesulitan tidur, karena terus teringat tragedi yang terjadi. Bahkan dia harus mengonsumsi obat-obatan untuk mengatasi keadaan ini. Persoalan semakin berat dengan kondisi ekonomi yang menghimpit.
“Untuk tahun kedua, mobil juga ikut terjual. Habis-habisan. Terus anak masuk kuliah, kedua-duanya, perlu biaya banyak. Mobil akhirnya terjual. Tahun-tahun berikutnya, tahun ke-4 atau tahun ke-5, saya sudah merasa tidak tahan lagi akhirnya rumah pun juga ikut terjual,” tambahnya lagi.
Untunglah, di tengah semua cobaan itu, Suyanto bertemu dengan sejumlah relawan pendamping korban aksi terorisme. Simpati yang tercurah, perlahan membantunya menyembuhkan luka batin. Di sisi lain, kehidupannya juga relatif membaik secara ekonomi. Suyanto kini aktif di Yayasan Penyintas Indonesia, yang turut mengkampanyekan dampak buruk aksi terorisme.
Dampak Tidak Sederhana
Kisah seperti Suyanto, sudah banyak didengar oleh Direktur Eksekutif Society against Radicalism and Violent Extremism (SeRVE) Indonesia, Dete Aliah Siti Darojatul Aliah. Dete bertemu, terutama dengan para penyintas perempuan, mulai dari Bom Bali hingga Bom Marriot, dengan kisah-kisah yang menyayat hati.
Dia memberi contoh, salah satu penyintas Bom Bali 1 yang setelah selesai menjalani proses panjang pengobatan, mendapati dirinya kehilangan pekerjaan. Penyintas ini kemudian menjadi korban penipuan yang dilakukan oleh kawannya sendiri di Bali.
“Hartanya dibawa pergi oleh temannya. Akhirnya dia pulang ke Surabaya, dan di Surabaya dia harus memulai hidup baru,” kata Dete.
Sayangnya, proses ini justru menghadirkan petaka kedua bagi penyintas tersebut.
“Karena dia butuh uang untuk menghidupi dirinya, akhirnya suaminya memilih menjadi pengedar narkoba, karena mungkin dari situ bisa dapat uang cepat. Tetapi, baru sehari beraksi ternyata dia, karena belum tahu permainan mungkin, dia ditembak dan dia mati,” tambah Dete.
Banyak juga penyintas yang kehilangan pekerjaan, karena cacat pada tubuh mereka akibat ledakan bom. Ketika mereka mencari pekerjaan baru, kesulitan juga menghadang karena faktor yang sama.
Kisah ini memberi bukti, bahwa dampak tragedi terorisme seperti bom, tidak sederhana. Pada akhirnya, bukan hanya orang yang ditarget saja yang menjadi korban, tetapi beruntun menjadikan pihak lain yang tidak disasar turut menjadi korban.
“Sekarang, tantangan kita adalah, bagaimana hal itu tidak sampai terulang lagi di masa depan,” ujar Dete.
Kompensasi Diberikan
Indonesia relatif terlambat mengambil kebijakan terkait ini, meski langkah-langkah perbaikan terus dilakukan. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) baru resmi berdiri pada 2008. Setelah itu, dasar hukum berbagai kebijakan masih harus disusun untuk memenuhi hak para penyintas.
Tidak mengherankan, jika kompensasi bagi korban aksi terorisme di Indonesia, baru diberikan setidaknya dalam dua tahun terakhir, seperti dipaparkan Wakil Ketua LPSK, Brigjen. Pol. (Purn) Dr. Achmadi.
“Pada tahun 2020 itu sebanyak 215 korban terorisme masa lalu, dengan jumlah Rp 39.205.000.000. Tahun 2021, sebanyak 357 orang korban tindak pidana terorisme masa lalu, dibayarkan dengan total sebanyak Rp 59.220.000.000,” ujar Achmadi.
Penyintas yang menerima, adalah mereka yang menjadi korban sejak peristiwa Bom Bali 1 seterusnya sampai saat ini. Achmadi menjelaskan, ada juga kompensasi yang diberikan melalui mekanisme putusan pengadilan, yang hingga saat ini telah diberikan lebih dari Rp1 miliar untuk 25 korban.
Negara juga memahami penderitaan fisik, psikis dan psikososial yang dialami penyintas. Karena itulah, banyak perubahan penanganan dilakukan. Pendampingan terus dilakukan, karena kondisi kesehatan penyintas acap kali butuh perawatan sepanjang hidup.
“Meskipun sudah diberikan bantuan medis, beliau-beliau ini masih terus memiliki kebutuhan medis. Luka bakar misalnya, itu tidak mudah penyembuhannya,” ujar Achmadi.
Perubahan layanan juga diberikan, dengan pemahaman terhadap karakteristik emosional penyintas yang berbeda-beda. Kepekaan para petugas, termasuk aparat penegak hukum memperoleh perhatian lebih. [ns/ab]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.