Pedoman pertama dalam memilih penjabat gubernur di tiga provinsi baru di wilayah Papua adalah bahwa dia harus orang asli Papua, kata Direktur Yayasan Mitra Perempuan Papua, Anike Tance Hendrika Sabami. Anike meminta agar hak warga asli dapat terpenuhi dalam pemerintahan di tiga provinsi baru tersebut.
“Itu jelas sekali diatur di dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2021, tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, di mana di Peraturan Pemerintah Nomor 106 atau 107 itu, memberi proteksi terhadap keaslian Papua,” ujarnya kepada VOA.
Peraturan Pemerintah Nomor 106 Tahun 2021 mengatur kewenangan dan kelembagaan pelaksanaan kebijakan otonomi khusus provinsi Papua. Sementara Peraturan Pemerintah Nomor 107 adalah tentang penerimaan, pengelolaan, pengawasan, dan rencana induk percepatan pembangunan dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus provinsi Papua.
Aturan hukum yang sudah dibuat, tambah Anike, harus ditaati oleh pemerintah pusat sendiri.
“Bagi saya penting, supaya penegakan konstitusi ini jelas, bahwa menghadirkan provinsi baru di tanah Papua secara khusus, di beberapa DOB baru itu, mesti mendorong orang asli Papua,” tambahnya.
Meski begitu, ada syarat lain yang juga sama penting, yaitu bahwa orang asli Papua itu harus netral dari kepentingan politik. Karena itu, Anike menilai tidak selayaknya penjabat gubernur diambil dari kalangan politisi, terutama mantan bupati atau pejabat yang memiliki kepentingan pada Pilkada 2024. Figur yang netral akan membebaskan penjabat gubernur dari kepentingan politik praktis, dan investasi politik ke depan.
Dari sisi rakyat, lanjut Anike, meski pembentukan DOB terkesan dipaksakan oleh pemerintah pusat, situasi di lapangan di sejumlah kabupaten menunjukkan kesiapan dalam menjadi sebuah provinsi baru. Provinsi Papua Selatan adalah salah satu yang paling siap, karena isu pembentukan provinsi baru sudah bergema cukup lama. Anike yakin, jika penjabat gubernur yang dipilih tepat, situasi kondusif akan terjaga setidaknya sampai Pilkada 2024.
“Kerendahan hati pemimpin bersama rakyatnya, melihat situasi rakyat yang hari ini terpuruk, walaupun sudah ada otonomi khusus tapi statis selama 21 tahun. Kegagalan itu jangan terulang lagi,” ujarnya lagi.
Ketika ditanya sejumlah contoh figur yang netral, Anike menjawab mantan Wakil Kepala Kepolisian Daerah Papua Barat, Irjen Pol (Purn) Pietrus Waine dan Dr Margaretha Rumbekwan sebagai contohnya. Pietrus yang saat ini purnawirawan polisi, bertugas di berbagai wilayah Indonesia, pernah memimpin beberapa Polres di Papua, sebelum kemudian menjadi Wakapolda Papua Barat. Sedangkan Margaretha berkiprah di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), dan juga pernah menjadi Direktur IPDN Papua.
Figur Akademisi Menjanjikan
Pandangan serupa, disampaikan tokoh mahasiswa asal Papua, Nicodemus Momo. Nico adalah Ketua Lembaga Isu Strategis Papua, Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PP PMKRI) St.Thomas Aquinas.
Melihat dinamika dan gejolak politik yang ada, Nico berpandangan penjabat gubernur di DOB Papua harus layak secara kemampuan serta mampu meredam isu yang berkembang dan netral secara politik.
“Jangan kita melihat orang yang berlatar belakang politisi ataukah birokrat. Tetapi bagi saya, kalau bisa kita melihat orang dari akademisi. Akademisi yang memahami persoalan Papua, baru kita taruh,” papar Nico kepada VOA.
Jikapun harus memilih seorang birokrat, Nico mengingatkan bahwa rekam jejak kinerja dari birokrat tersebut harus menjadi pertimbangan utama. Kandidat tersebut juga harus terbukti bebas dari kepentingan politis. Netralitas figur menjadi faktor penting karena Papua selalu dipenuhi dengan pro dan kontra, lanjut Nico.
Ia mengatakan bahwa terdapat cukup banyak akademisi yang mumpuni di berbagai universitas yang ada, mulai Universitas Cenderawasih, Universitas Papua, hingga Universitas Musamus, Merauke, yang mampu mengemban tugas sebagai penjabat gubernur.
“Mereka ini punya kajian yang lebih dalam, mereka punya mahasiswa, mereka punya gerakan, kemudian mereka juga berpengalaman dan pengetahuannya cukup. Mereka tidak punya kepentingan lain-lain. Mereka mengerti situasi dan kondisi riil masyarakat,” tegas Nico.
Faktor netralitas juga dinilai penting sebelum penentuan gubernur tetap pada pilkada 2024 mendatang, tambah Nico. Penjabat harus mampu menjamin aspirasi rakyat Papua tersampaikan dengan baik tanpa menimbulkan konflik.
Secara sosial dan budaya, Nico yang berasal dari Kabupaten Tambrauw menjamin rakyat Papua akan mudah menerima penjabat yang merupakan orang asli Papua dan dinilai netral. Sekali lagi dia menekankan, akademisi perguruan tinggi semestinya menjadi prioritas karena kapasitas mereka. Ada cukup banyak penelitian ilmiah mengenai budaya, sosial, politik masyarakat Papua, yang bisa dijadikan pedoman ketika mereka menjalankan tugas.
“Ada cukup banyak akademisi, misalnya di Universitas Papua, yang memiliki karya penelitian sosiologi atau antropologi dan mereka memahami masyarakat Papua. Mereka bagus, layak dan pantas menjadi penjabat gubernur di daerah otonomi baru,” tegas Nico.
Pelantikan Penjabat Segera
Kepastian mengenai penunjukan penjabat gubernur provinsi Papua Selatan, Papua Pegunungan dan Papua Tengah, disampaikan Menteri Dalam Negeri, M Tito Karnavian, Senin (17/10).
“Kita tahu bahwa ada tiga DOB yang akan segera diresmikan, mungkin akhir bulan ini, paling lambat awal November, dengan pelantikan penjabat gubernurnya,” kata Tito.
Mendagri menyampaikan itu dalam pelantikan tiga penjabat untuk tiga daerah, yaitu gubernur DKI Jakarta, penjabat bupati Kepulauan Yapen dan penjabat bupati Tolikara. Dua daerah terakhir adalah kabupaten yang ada di Papua.
“Tolikara masuk bagian dari Papua Pegunungan, tolong untuk penjabat bupati Tolikara untuk bisa mendukung pembentukan provinsi baru ini, yang sebentar lagi, enggak lama lagi, sekitar tiga minggu lagi, mungkin segera kita resmikan,” tambah Tito.
Sedangkan Kabupaten Kepulauan Yapen, direncanakan akan masuk ke wilayah pemekaran Provinsi Papua Utara, yang saat ini masih dalam pembahasan di DPR.
Dalam pesannya, Mendagri juga meminta penjabat bupati Kepulauan Yapen dan Tolikara, untuk dapat menciptakan situasi yang kondusif. Tito menilai Kepulauan Yapen selama ini relatif aman dan damai meski sebelumnya sering disebut memiliki sejumlah kelompok bersenjata.
Penjabat bupati di Papua juga diminta mampu mempersiapkan Pemilu dan Pilkada 2024. Tito meminta penjabat bupati untuk turun ke bawah, dan mampu memanfaatkan APBD yang cukup besar di Papua, untuk sektor pembangunan.
“Jaga stabilitas keamanan di Tolikara, saya paham itu daerah yang cukup rawan dan kemudian tolong rangkul semua pihak yang ada di Tolikara supaya tidak terjadi resistensi,” tambah Tito. [ns/rs]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.