Pengungkapan kasus itu, setidaknya menjadi gambaran kecil bagaimana kekerasan seksual terjadi di industri film Indonesia. Olin Monteiro, feminis yang juga produser dokumenter perempuan, pernah meneliti fenomena itu.
“Sebelum pandemi aku bikin survei, tentang apakah Anda sebagai pekerja film mengalami kekeraan seksual. Dari 120 orang yang mengisi form, ada 98 orang yang mengalami,” kata Olin.
LETSS Talk dan Konde.co bekerja sama menyelenggarakan diskusi “Wajah Kekerasan Seksual dalam Industri Film Indonesia”, Minggu, (16/10) malam. Di Indonesia, industri ini relatif tertutup dalam kasus-kasus kekerasan seksual, meski diyakini kejadiannya cukup signifikan.
“Dan itu terjadi di dalam rentang sepuluh tahun terakhir ini kasusnya. Jadi bukan hanya sekarang, dalam sepuluh tahun terakhir kurang lebih,” tambah Olin.
Olin memaparkan, salah satu kesempatan terjadinya kekerasan seksual di industri film Indonesia, adalah dalam proses casting dengan bentuk bermacam-macam.
“Ketika orang mau jadi salah satu pemain, biasanya ada casting. Disuruh dialog, menari, menyanyi. Di dalam casting ini banyak sekali kasus, karena mereka disuruh buka baju, dipegang-pegang atau diraba-raba,” ujarnya.
“Terus body shaming juga. Seperti komentar, kok kamu gendut ya? Dan itu banyak orang enggak tahu, bahwa itu pelecehan verbal,” tandas Olin.
Dari lebih 90 kasus yang dicatat dalam penelitian Olin, sebanyak 80 persennya tidak dilaporkan. Hanya satu dua kasus saja, dimana korban kemudian melapor ke produser atau sutradara. Kasus ini juga terjadi dalam produksi sinetron atau film televisi, yang bahkan menurut Olin, lebih banyak pihak yang terlibat tidak menerima perlindungan yang cukup dari sutradara atau produser.
“Dibilang, kamu jangan bikin ribut-ribut deh, masa gara-gara gitu aja kamu bawel. Seperti itu, karena memang ada kesalahan pemahaman di dunia film, bahwa ketika orang dilecehkan itu dianggap biasa aja. Ya sudah itu bercandaan, itu biasa, hal yang normal,” tambah Olin.
Gerakan Me Too di Amerika Serikat, menurut Olin menjadi salah satu pendorong korban kekerasan seksual di industri film berani bersuara. Meski begitu, industri ini masih memerlukan iklim yang kondusif, agar lebih banyak korban berani menguak kekerasan seksual yang terjadi padanya.
Jarang di Era 80-an
Aktris senior Yessy Gusman, yang terlibat dalam sejumlah film utama Indonesia di era akhir 70-an, mengaku cukup terlindungi selama menjalani karir akting. Alasannya, pada era itu dirinya berada dalam pengawalan ketat orang tua, ketika proses syuting film dilakukan. Perlindungan yang sama diberikan oleh keluarga aktor lain, misalnya Rano Karno, yang menjadi lawan main Yessy dalam film legendaris Gita Cinta dari SMA (1979) dan sekuelnya, Puspa Indah Taman Hati (1979).
Meski begitu, Yessy memiliki beberapa cerita terkait kondisi dalam industri film dan potensi kekerasan seksual di dalamnya. Kisah pertama datang dari pemain pria yang baru menjalani karir di film.
“Dia ini ditawari untuk main film, diiming-imingi untuk satu peran. Tapi suatu hari, dia diundang ke satu rumah gitu ya, oleh mungkin produser atau siapa, saya kurang tahu. Lalu, dikunci di rumah tersebut,” kata Yessy.
Pria pemain film baru itu baru bisa keluar dari rumah tersebut, pada pukul 02.00 dinihari. Pada kisah yang lain, Yessy menceritakan hubungan seorang pemain film pria yang juga masih baru, dengan seorang make up artist di industri film. Setelah tidak mau lagi berkomunikasi, make up artist itu mengatakan kepada Yessy, bahwa dia akan menutup semua pintu karir bagi pria pemain film baru itu.
“Seperti itu yang saya dengar, yang terjadi pada dua orang, dan korbannya dua-duanya laki-laki,” kata Yessy.
Mungkin Tidak Banyak
Sutradara film Enison Sinaro mengaku tidak banyak mendengar kasus kekerasan seksual, semenjak dia berkiprah di film. Memulai debut sebagai asisten sutradara di era 80-an, dan menjadi sutradara pada era 90-an, Enison memastikan akan mendengar jika memang ada kasus kekerasan seksual terjadi.
“Boleh dibilang tidak ada kasus-kasus pelecehan seksual yang saya tahu. Setahu saya. Atau di lingkungan yang saya terjuni. Rasanya juga kalau ada di tempat lain, biasanya namanya rumor atau apa, itu pasti sampai,” ujarnya.
Apalagi, jika kekerasan seksual didefinisikan sebagai tindakan yang disertai paksaan oleh pelaku. Meski tidak banyak, Enison mengaku ada satu dua kasus hubungan antar pemain film atau antara kru dengan pemain atau sutradara. Namun dalam kasus-kasus itu, tidak bisa dimasukkan sebagai kekerasan seksual, karena didasarkan pada persetujuan kedua belah pihak.
“Mungkin itu yang istilahnya dulu disebut cinta lokasi atau apa,” ujarnya.
Jika saat ini ada di industri film, Enison mengaku kurang memahaminya karena hanya mendengar cerita di komunitas tersebut. Tetapi dia yakin, kasusnya tidak sebanyak yang diperkirakan orang.
Pengakuan yang sama disampaikan aktor era 90-an, Sandy Nayoan. Sandy dikenal juga sebagai Midun, karakter dalam sinetron TVRI Sengsara Membawa Nikmat yang sangat fenomenal di eranya. Sandy terus berkarir dalam industri ini, dengan lebih banyak terlibat dalam produksi film televisi, disamping berpraktik sebagai pengacara.
“Kita tahun-tahun itu memang tidak melihat adanya hal-hal yang seperti itu. Hanya memang itu disebut cinlok, cinta lokasi. Apakah itu cinta segitiga, segiempat, segilima ya. Sesama pemain,” kata Sandy.
Namun, Sandy tidak memungkiri dalam proses produksi, sering muncul kalimat yang sebenarnya dapat dimasukkan dalam kategori kekerasan seksual non fisik. Dalam adegan tertentu, muncul celetukan seputar kurang ke bawah atau rok yang kurang ke atas.
“Itu masih ada lah, di lingkungan ini. Dalam adegan tertentu, adalah suara-suara seperti itu, yang kalau mau kita masukkan sebagai kekerasan seksual non-fisik, itu bisa saja,” tambahnya.
Perempuan Penentu Industri
Industri film Indonesia relatif terbantu dari kekerasan seksual pada era tahun 2000-an, karena munculnya peran perempuan yang cukup dominan. Sutradara, penulis naskah sekaligus produsen perempuan, Nan Triveni Achnas menyebut, industri film Indonesia pernah mengalami kevakuman selama sepuluh tahun pada periode menjelang dan sekitar reformasi 1998.
Ketika bangkit kembali, perempuan cukup dominan di industri film Indonesia. Kebangkitan itu antara lain ditandai oleh produksi film dari Christine Hakim, Garin Nugroho, Mira Lesmana, Riri Reza, hingga Nia Dinata. Nan T Achnas sendiri memproduksi Pasir Berbisik, yang memperoleh delapan penghargaan internasional.
“Yang paling penting adalah, kebanyakan dari yang menentukan, yang menjadi decision maker itu adalah perempuan,” ujarnya.
Banyaknya perempuan di industri film ketika itu, karena sistem di era Orde Baru tidak berlaku kembali. Sebelumnya, untuk menjadi sutradara, seseorang harus setidaknya tiga kali menjadi pencatat skrip, dan tiga kali menjadi asisten sutradara. Melalui reformasi, perempuan leluasa tampil sebagai sutradara.
“Setelah reformasi, kebanyakan yang memiliki kekuasaan untuk menentukan keberadaan sebuah film, adalah perempuan,” tambahnya.
Saat ini, ketika produksi film semakin banyak, kasus kekerasan seksual di industri ini dilaporkan juga meningkat. Salah satu sebabnya, dominasi perempuan sebagai sutradara dan produser di era awal 2000-an tidak terjadi lagi. Nan T Achnas mengajak seluruh pelaku industri ini untuk lebih peduli.
“Sekarang, banyak produksi film dan banyak kejadian-kejadian yang saya kira itu perlu ada kesadaran terhadap apa yang terjadi sekarang,” ujarnya. [ns/ab]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.