Presiden China Xi Jinping mengukuhkan kembali komitmennya terhadap kebijakan nol-COVID pemerintahnya, dalam pidato di Kongres Partai ke-20 Partai Komunis China, Minggu (16/10).
Para analis mengatakan pernyataan itu mungkin mengecewakan banyak orang yang berharap Xi akan meninggalkan restriksi ketat yang telah menutup kedatangan orang asing dan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Kebijakan itu dianggap berkontribusi pada masalah rantai pasokan global serta menunda pemulihan di sektor penerbangan dan pariwisata.
“Meskipun semua orang dapat melihat pertumbuhan ekonomi melambat, ia masih ingin mempertahankan nol-COVID. Ini akan merugikan mata pencaharian rakyat,” kata Simon Chen, profesor ilmu politik di National Taiwan University.
Para pengamat telah berspekulasi bahwa meskipun tingkat infeksi dan kematian sangat rendah, China belum membuka kembali perbatasannya dan kembali ke kehidupan normal karena Beijing menolak mengizinkan impor vaksin yang digunakan luas dan dikembangkan oleh perusahaan-perusahaan Barat seperti Pfizer-BioNtech dan Moderna.
China telah mengandalkan vaksin yang diproduksi di dalam negeri dan beberapa pengamat menganggap desakan Xi mengenai kebijakan nol-COVID sebagai bukti bahwa pemerintahnya tidak percaya vaksinnya akan memberi perlindungan bagi gelombang baru infeksi yang diperkirakan terjadi pada musim dingin ini.
“Jika ia menghentikan kebijakan ini, masalah-masalah besar dapat terjadi,” kata Chen. Ia menambahkan bahwa China juga mungkin mencoba memberi waktu untuk mengembangkan vaksinnya sendiri yang berbasis mRNA, yang dianggap lebih efektif.
Victor Gao, profesor di Soochow University, China, dan wakil presiden organisasi riset Center for China and Globalization yang berbasis di Beijing mengatakan, sikap pemerintah dimaksudkan untuk memprioritaskan menyelamatkan nyawa dan mencegah kematian.
“Inti hak asasi manusia di China adalah kehidupan, hak untuk hidup,” kata Gao. “Sekarang ada dua cara untuk menghadapi virus. Satu, kekebalan kelompok, dan dua, nol-COVID yang dinamis. Kekebalan kelompok kini jadi jalan buntu karena Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit China tidak mengizinkannya; ini berarti kita harus mengorbankan puluhan ribu atau ratusan ribu orang dan jika ini terjadi di China, kita bicara tentang hampir 10 juta orang yang meninggal karena COVID-19,” lanjutnya.
Mempertahankan kebijakan nol-COVID bukan berarti kebijakan itu akan tetap tidak berubah, kata Gao. Ia menunjukkan bahwa masa karantina China untuk COVID-19 telah disesuaikan dari dua pekan menjadi tujuh hari. Tergantung pada tingkat keparahan infeksi, serta vaksinasi dan tingkat kematian, ini dapat dikurangi lebih lanjut atau bahkan dihapus, lanjutnya.
Jean-Pierre Cabestan, peneliti di French Centre for Research on Contemporary China, Hong Kong, mengatakan, terlepas dari sejumlah tentangan dari dalam partai terhadap kebijakan nol-COVID, ada dukungan kuat secara menyeluruh terhadap kebijakan itu di beberapa kota kecil dan di kalangan dokter serta pakar di China. [uh/ab]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.