VOA – Agresi Rusia terhadap Ukraina menjadi agenda utama saat Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken bertemu dengan sejumlah menteri luar negeri lainnya yang berasal dari Kelompok 20 negara dengan perekonomian terbesar, atau G20, pada minggu ini di Bali.
Blinken berangkat pada Rabu (6/7) untuk menghadiri pertemuan tingkat menteri itu, di mana ia juga akan mengadakan pertemuan bilateral dengan Menteri Luar Negeri China Wang Yi.
Agenda pertemuan antara diplomat tinggi AS dan China tersebut kemungkinan akan membahas masalah kerja sama dalam perubahan iklim, kesehatan global, upaya memerangi narkotika dan situasi di Myanmar, kata Asisten Menteri Luar Negeri AS Daniel Kritenbrink.
AS ingin secara bertanggung jawab dalam mengelola “persaingan ketat” dengan China, dan dibutuhkan pembangunan “pagar pembatas” untuk menghindari konflik yang tidak diinginkan, katanya kepada wartawan pada Selasa (5/7).
Blinken akan mengadakan dua pertemuan panjang dengan Wang. Sesi pertama pertemuan tersebut kemungkinan akan berfokus pada hubungan bilateral, sedangkan sesi kedua akan berfokus pada isu-isu regional dan internasional, menurut sumber-sumber diplomatik.
Setelah menteri G20, Blinken akan berangkat menuju ke Bangkok, di mana ia diharapkan akan membahas situasi di Myanmar, juga dikenal sebagai Burma.
“Pembahasan mengenai Burma akan menjadi agenda utama” baik dalam pertemuan dan di sela-sela G20 dan di Bangkok, kata Kritenbrink. Ia menambahkan AS akan terus “mengutuk tindakan brutal rezim militer Burma yang dilakukan sejak kudeta, di mana aksi tersebut telah membunuh hampir 2.000 orang dan memaksa lebih dari 700.000 warga lainnya kehilangan tempat tinggal.”
Selama akhir pekan lalu, Wang mengunjungi Myanmar, kunjungan pertamanya ke negara itu sejak pihak militer merebut kekuasaan pada tahun lalu.
Sementara itu, meskipun Ukraina bukan anggota G20, Menteri Luar Negeri negara tersebut, Dmytro Kuleba, akan diundang ke pertemuan menteri luar negeri pada minggu ini. Undangan tersebut diberikan menyusul posisi Ukraina yang menjadi kandidat anggota Uni Eropa. Kuleba mengatakan dia telah mengoordinasikan posisi negaranya dengan kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Josep Borrell sebelumnya.
Kami berdua sepakat tentang perlunya paket sanksi Uni Eropa ketujuh terhadap Rusia dan kami sedang mengerjakannya,” cuit Kuleba.
Menurut pejabat AS, invasi Rusia terhadap Ukraina telah menyebabkan ketidakstabilan ekonomi global, dan Washington tidak akan mengurangi tekanan terhadap Kremlin sampai Rusia mengakhiri serangan militernya.
Belum ada pertemuan resmi yang dijadwalkan antara Blinken dan Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov di Bali. Dan AS tidak mengesampingkan kemungkinan walkout untuk memprotes kehadiran Lavrov di G20.
“(Saya) tidak akan berbicara pada tahap ini untuk hal yang belum terjadi, tetapi kami berharap Menlu (Blinken) dapat menjadi peserta penuh dan aktif, dan di saat yang sama juga tetap setia pada tujuan utama lainnya. Dan adalah fakta bahwa kami tidak bisa menjalin urusan seperti biasanya dengan Federasi Rusia,” kata juru bicara Departemen Luar Negeri Ned Price, pada Selasa (5/7).
AS dan China
Pertemuan Blinken dengan menteri luar negeri China akan menjadi pertemuan pertama mereka sejak kepala diplomat AS itu mengungkapkan strategi pemerintahan Biden untuk mengalahkan negara adidaya saingannya.
Dalam sambutannya saat itu, Blinken mengatakan bahwa AS tidak berusaha untuk memisahkan diri dari China dan bahwa hubungan antara dua ekonomi terbesar dunia bukanlah permainan zero-sum atau menang atau kalah.
Selama berbulan-bulan, pejabat senior Departemen Luar Negeri mengatakan mereka tidak melihat China memberikan dukungan material kepada Rusia untuk perangnya melawan Ukraina, dan mereka telah memperingatkan “konsekuensi” yang akan muncul jika pemerintah Beijing melakukannya.
Pekan lalu, Departemen Perdagangan AS menambahkan lima perusahaan di China ke daftar hitam perdagangan karena diduga mendukung pangkalan industri militer dan pertahanan Rusia.
Di AS, beberapa anggota parlemen dari Partai Republik mengatakan tindakan pemerintahan Biden itu tidaklah cukup.
“Konsep pemerintahan (Biden) yang lemah tentang ‘konsekuensi’ tidak akan banyak membantu untuk menghalangi dukungan berkelanjutan CCP (Partai Komunis China) terhadap kejahatan perang yang dilakukan (Presiden Rusia Vladimir) Putin,” kata Michael McCaul, anggota Partai Republik di Komite Urusan Luar Negeri DPR pada 29 Juni. Harus ada “sanksi yang signifikan terhadap perusahaan-perusahaan yang melanggar,” tambahnya.
Pergolakan dalam G20 dalam Menanggapi Perang Rusia
Partisipasi Rusia dalam acara-acara G20 telah menciptakan ketegangan di dalam kelompok tersebut, yang terdiri dari Kelompok Tujuh ekonomi industri terkemuka, atau G7, dan negara-negara berkembang besar lainnya.
Banyak anggota, terutama yang tergabung dalam G7, mengutuk invasi Rusia dan mendukung sanksi ekonomi yang serius. Negara-negara anggota lainnya seperti China dan India, bagaimanapun, telah abstain pada berbagai resolusi PBB dan menahan diri dari mengutuk Rusia secara terbuka.
Presiden AS Joe Biden telah mengatakan bahwa Rusia tidak boleh tetap menjadi anggota G20, tetapi China, Brazil, dan Afrika Selatan keberatan untuk mendepak Rusia dari kelompok itu. Negara-negara tersebut juga merupakan anggota dari lima negara berkembang besar yang dikenal sebagai BRICS (Brazil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan) dan melihat diri mereka sebagai alternatif dari tatanan dunia yang dipimpin AS.
Beberapa anggota G20 mengatakan perpecahan yang melebar akibat perang Rusia di Ukraina seharusnya tidak menutupi tema pemulihan ekonomi tahun ini pasca hantaman pandemi virus corona.
Indonesia, yang memegang jabatan presiden bergilir G20, mengatakan pihaknya mempertahankan kebijakan luar negeri yang independen dan tidak berpihak pada kekuatan dunia. Keengganan Indonesia untuk mengeluarkan Putin dari KTT G20 mencerminkan keinginannya untuk tidak terlihat memihak dan tetap fokus pada tema COVID-19.
“Seiring dengan pemulihan dunia dari dampak buruk pandemi, kita harus berkolaborasi dan melakukan bagian kita untuk berkontribusi terhadap pemulihan ekonomi,” Rosan Perkasa Roeslani, Duta Besar Indonesia untuk AS, kepada VOA, Selasa (5/7). “Perang di Eropa tentu merugikan tujuan itu. G20 adalah forum untuk membicarakan masalah ekonomi utama dan berkontribusi secara berarti dalam mengatasinya,” tukasnya.
Pekan lalu, Presiden Indonesia Joko Widodo menjadi pemimpin Asia pertama yang mengunjungi Ukraina dan Rusia. Setelah kunjungan itu, Jokowi mengatakan bahwa Putin telah setuju untuk “memberikan jaminan keamanan untuk pasokan makanan dan pupuk dari Rusia dan Ukraina” di tengah meningkatnya kekhawatiran atas krisis pangan global.
Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen mengatakan kepada media Jerman, ZDF, baru-baru ini bahwa kemungkinan datangnya Putin ke KTT G20 pada bulan November mendatang seharusnya tidak menjadi alasan bagi para pemimpin Barat untuk memboikot pertemuan atau “melumpuhkan seluruh G20.”
“Menurut saya, G20 terlalu penting, juga untuk negara-negara berkembang jika kita harus membiarkan badan ini dihancurkan oleh Putin.”
Pertamuan menteri luar negeri pada minggu ini tidak akan mengeluarkan dokumen resmi atau komunike, menurut co-sherpa G20 Dian Triansyah Djani. [ah/rs]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.