Presiden Joko Widodo menargetkan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) beroperasi Juni 2023 mendatang. Ia menjelaskan, sampai saat ini perkembangan pembangunan proyek tersebut sudah mencapai 88,8 persen.
“Peluncuran nanti untuk operasional Insya Allah kurang lebih nanti di bulan Juni 2023,” ungkap Jokowi usai meninjau di Stasiun Tegalluar, Kawasan Infrastruktur PT Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC), Kabupaten Bandung hari Kamis (13/10).
Jika tidak ada aral melintang, rencananya Presiden Tiongkok Xin Jin Ping akan ikut meninjau proyek kerja sama antar kedua negara ini. Namun, Jokowi menekankan kunjungan Xin Jin Ping tersebut masih belum pasti.
Lebih jauh ia berharap, keberadaan KCJB diharapkan dapat memperlancar dan mempermudah mobilitas barang dan masyarakat, serta meningkatkan daya saing dan menimbulkan titik-titik pertumbuhan ekonomi baru. Selain bisa meningkatkan konektivitas di dalam negeri, Jokowi juga berharap KCJB yang merupakan kereta api cepat pertama di ASEAN ini juga bisa meningkatkan konektivitas antar negara di ASEAN.
“Entah disambungkan itu dengan pelabuhan, entah itu disambungkan dengan airport dan entah nanti juga bisa disambungkan dengan kereta cepat seperti ini dan itu sudah menjadi gagasan besar di ASEAN agar konektivitas antar negara-negara ASEAN ini tersambungkan secepat-cepatnya dalam rangka daya saing ASEAN,” tuturnya.
Dalam kesempatan ini, Jokowi juga menegaskan bahwa proyek KCJB tersebut bukan merupakan bantuan dari negara manapun termasuk Tiongkok. Mantan Walikota Solo ini menekankan bahwa hubungan antara Indonesia-Tiongkok dalam proyek KCJB murni hanya sebatas kerja sama investasi.
“Ini bukan bantuan. ini adalah kerja sama antara Indonesia dan Tiongkok. ada investasi di sini. jadi bukan bantuan,” tegasnya.
Pembengkakan Biaya
Sementara itu, Direktur Utama PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) Dwiyana Slamet Riyadi mengungkapkan, masalah pembengkakan biaya atau cost overrun yang terjadi di proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung masih tahap negosiasi.
Dwiyana mengakui terdapat perbedaan perhitungan pembengkakan biaya antara pihak Indonesia dengan China.“Cost overrun ini masih negosiasi antara pemerintah Indonesia dan China,”ungkap Dwiyana.
Perbedaan asumsi cost over run tersebut, kata Dwiyana disebabkan adanya perbedaan perhitungan antara konsultan Indonesia dan China.
“Saya kasih contoh konsultan China menghitung terkait dengan biaya GSMR untuk 900 megahertz itu free charge atau tidak ada biaya seperti di China. Pemerintahnya menyediakan frekuensi dedicated untuk industri kereta api. Tapi kalau di sini gak bisa, karena sejak tahun 1992, 900 megahertz untuk GSMR sudah dipakai industri telco,” tuturnya.
“Jadi kami diminta kerjasama dengan telkomsel di situ ada investasinya hampir sekitar Rp1,3 triliun sehingga tidak akan mengganggu antara frekuensi telkomsel dengan frekuensi kami. Kalau pemerintah China tidak mengakui biaya investasi itu pasti ada perbedaan, ini yang sedang dibahas,” tambahnya.
Selain pembengkakan biaya atau anggaran yang kerap diperbincangkan, masyarakat juga mempertanyakan ketersediaan transportasi publik yang terintegrasi dengan stasiun terakhir KCJB, yang titiknya tidak berada di pusat kota Bandung. Dwiyana memastikan bahwa akan ada transportasi publik terintegrasi dan sarana infrastruktur pendukung untuk memudahkan masyarakat mengakses KCJB ini.
“Nanti bakalan ada feeder di Padalarang. Terus nanti di masing-masing stasiun beda treatment-nya menyesuaikan dengan stasiun yang ada dan kita juga berusaha bagaimana menciptakan aksesibilitas yang termudah. Misalnya untuk wilayah Padalarang akan kerja sama dengan Kota Baru Parahayangan, nah nanti kita akan membuat fly over yang langsung menghubungkan akses tol Padalarang dengan stasiun,” jelasnya.
Terkait besaran tarif KCJB sejauh ini masih belum diputuskan. Namun berdasarkan studi yang sudah dibuat, harga tiket akan berkisar Rp350 ribu. Tarif tersebut, kata Dwiyana, tidak akan flat, namun akan disesuaikan dengan jam kesibukan.
“Tapi kami bisa melakukan diferensiasi tarif, di mana pada saat off peeak ada diskon atau reduce dan lain-lain, misalnya off peak harian di jam 11 kita kasih diskon,” tuturnya.
Proyek KCJB Berpotensi Menjadi Proyek Infrastruktur Gagal
Pengamat transportasi Muslich Zainal Asikin menilai jika dipaksakan beroperasi pada Juni 2023, proyek KCJB berpotensi tinggi menjadi proyek infrastruktur lainnya yang gagal. Hal ini disebabkan, belum memadainya infrastruktur pendukung dan moda transportasi publik yang terintegrasi dengan baik. Terlebih titik pemberhentian terakhir bukan berada di Kota Bandung.
“Dari segi kelayakan proyek ketika ini membengkak, maka ini menjadi berat sekali, kalau ini tetap dipaksakan dioperasikan berarti dari waktu ke waktu akan menambah beban. Logikanya ketika dioperasikan, maka pendapatan kereta cepat akan bisa menutup biaya operasi. Namun dengan kondisi yang seperti sekarang, hampir pasti tidak akan bisa menutup biaya operasi karena tidak memiliki nilai lebih dibandingkan alat angkut yang lain,” ungkapnya kepada VOA.
Tidak bisa dipungkiri, pada awal pengoperasian masyarakat pasti akan berbondong-bondong untuk mencobanya. Namun, ia memprediksi bahwa lambat laun nasibnya akan sama seperti kereta di Palembang yang sampai hari ini masih merugi, karena sama sekali tidak fungsional.
“Sementara ketika biayanya tambah berarti Return of Investment (ROI) akan menjadi semakin bertambah (lama). Kemarin sudah ada yang menghitung ROI-nya 100 tahun lebih baru bisa kembali, padahal ini belum selesai. Ini masalah baru, akan menjadi beban bagi generasi berikutnya,” tuturnya.
Ia memperkirakan, proyek KCJB tersebut akan bernasib sama dengan bandara-bandara di daerah yang terpaksa harus ditutup karena sama sekali tidak menguntungkan, seperti Bandara Kertajati.
“Kalau tidak ada penumpang siapa yang mau datang pesawatnya. Akhirnya kemudian jadi terbengkalai. Sudah dicoba untuk menjadi tempat pemeliharaan pesawat dan sebagainya, Apakah itu worth it? Kalau dalam dunia bisnis tidak bisa seperti di dunia politik, sudah ini dibiayai oleh APBN, kan gak bisa dibiayai oleh APBN terus. Untuk investasi awal mungkin, tapi kalau untuk operasional kemudian harus ditanggung APBN terus kan gak mungkin,” tambahnya.
Terlepas dari permasalahan yang ada, pemerintah katanya tidak memiliki pilihan lain, selain melanjutkan proyek tersebut.
“Kalau Anda punya mobil baru memang bangga, tapi kebanggaan itu hanya hitungan hari. Kalau orang berpikir alat transportasi itu kan soal fungsional apa tidak. Kalau kemudian alat transportasi itu menjadi beban di dalam kehidupan, itu kan menjadi masalah. Tapi kalau ini tidak diteruskan juga menjadi masalah, karena sudah terlanjur dikeluarkan duit yang begitu banyak. Jadi ini maju kena, mundur juga kena,” pungkasnya. [gi/iy/em]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.