Perdes Nomor 1 tahun 2022, merupakan upaya masyarakat melindungi ekosistem mangrove seluas 112 hektare yang sudah berhasil ditanam dan tumbuh dengan baik. Aturan ini terbit dengan adanya keterlibatan berbagai pihak, baik dari Badan Permusyawaratan Desa (BPD), pemerintah desa, tokoh masyarakat, tokoh agama dan pemuda.
“Kerusakan hutan mangrove di pesisir Pantai Pangkal Babu memberikan dampak yang besar akan keberlangsungan hidup biota laut dan masyarakat di sekitar kawasan hutan,” kata Kepala Desa Tungkal I Fatturaahman.
Pembuatan perdes ini memiliki beberapa tujuan. Pertama, adanya legal standing yang kuat dalam perlindungan kawasan hutan mangrove di Desa Tungkal I, sehingga masyarakat tidak dapat secara leluasa mengambil kawasan hutan mangrove untuk dialihfungsikan menjadi kebun atau lainnya.
Jika hutan mangrove dialihfungsikan maka dapat berakibat hilangnya habitat flora dan fauna yang bergantung kepada hutan mangrove, di antaranya udang dan kepiting yang memanfaatkan akar-akar tumbuhan bakau sebagai tempat berkembang biak.
Bukan hanya itu, mangrove juga berfungsi sebagai penyangga abrasi air laut, penahan air dan angin yang sangat bermanfaat bagi pemukiman masyarakat yang hidup di sekitar hutan.
Kedua, adanya pembagian zona yang jelas di kawasan hutan mangrove seluas 112 hektare. Pembagian zona tersebut diantaranya zona ekowisata hutan mangrove seluas 23 hektare, zona pemanfaatan seluas 40 hektare, dan zona perlindungan 58 hektare.
Dengan adanya pembagian zona ini diharapkan terwujud pemanfaatan berkelanjutan oleh kelompok pengelola secara lestari. Masyarakat tetap dapat memanfaatkan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHKB) seperti madu lebah bakau, buah pidada dan lain-lain secara lestari.
Perdes yang memberikan perlindungan mangrove ini juga menguatkan semangat anggota koperasi mangrove lestari untuk meningkatkan produksi kerupuk mereka dan menjangkau pasar yang lebih luas.
Kelompok UMKM
Kelompok usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) di daerah ini mengelola usaha kerupuk udang sejak 2018. Pada pertengahan 2019 sempat vakum dan kemudian pada pertengahan 2020 kembali diproduksi didampingi oleh Fasilitator Komunitas KKI Warsi, Qorry Oktaviani.
“Mata pencaharian mereka utamanya nelayan. Udang yang ditangkap, kemudian dijual ke agen atau langsung kepada konsumen. Penghasilan mereka hanya dari situ. Setelah mereka mengolah udang menjadi kerupuk, penghasilan mereka cukup meningkat,” kata Qorry.
Menggunakan udang yang diambil langsung dari habitatnya di sekitar mangrove menjadi salah satu keunggulan kerupuk udang dari daerah ini. Udang yang mereka gunakan merupakan udang segar, tanpa proses pengawetan terlebih dahulu.
Komposisi kerupuk udang terdiri dari udang, tepung tapioka, bawang putih, dan garam. Kerupuk mengandalkan rasa gurih udang tanpa tambahan penguat rasa. Selain itu, warna kerupuk putih agak kekuningan yang merupakan warna alami dari adonan tanpa ada tambahan bahan pewarna makanan.
Saat ini, kerupuk udang Wana Mina salah satu UMKM sudah memiliki izin atau Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SP PIRT) . Kerupuk ini dijual dengan cara menitipkan di warung-warung yang ada di desa. Untuk pemasaran yang lebih luas, melalui promosi di kanal media milik KKI Warsi.
Produk kerupuk udang dari daerah ini sudah dipasarkan di sekitar Kuala Tungkal, Kota Jambi, dan bahkan luar provinsi seperti Aceh dan Jakarta.
KKI Warsi mendorong kemandirian masyarakat. Usaha tersebut adalah milik mereka, sementara fasilitator hanya bertindak sebagai pendamping saja. Oleh karena itu, mereka terlibat langsung dalam pemasaran, misalnya dengan menitipkan kerupuk yang telah siap dikonsumsi di warung-warung desa.
Untuk harga jual, kerupuk udang yang mentah dijual dengan harga Rp75.000 per kilogram. Sementara itu, untuk kerupuk yang siap dikonsumsi dijual dengan harga yang bervariasi sesuai kemasan, yaitu kemasan Rp1.000, Rp10.000, dan Rp15.000.
Sekali produksi, kelompok usaha dari daerah ini mampu menghasilkan 30 kilogram kerupuk mentah per bulan. Usaha kerupuk tersebut mampu menggerakkan ekonomi masyarakat Pangkal Babu.
Ikan berdatangan
Hutan mangrove di Desa Tungkal 1 kini mulai menghijau, tumbuh dan lestari. Berbagai jenis ikan dan udang kembali mudah ditemukan nelayan setempat.
Hadirah (56) misalnya, nelayan yang memiliki perahu kayu tanpa mesin kini lebih rajin menangkap udang taji dan udang lumpur, dua jenis udang berukuran kecil yang belakangan banyak hadir di perairan Pangkal Babu.
Sebelumnya udang dan aneka ikan lainnya sempat sulit di jumpai di perairan Pangkal Babu Desa Tungkal 1, Kecamatan Tungkal Ilir, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi. Penyebabnya, rusaknya mangrove yang menjadi habitat aneka ikan dan udang.
Pada awal 2000, ikan dan udang sulit ditemukan di perairan setempat. Bibir pantai berubah menjadi kolam-kolam tambak yang diusahakan pemodal. Warga masyarakat awalnya tidak menyadari bahwa perubahan mangrove di daerah itu akan berdampak pada hilangnya ikan dan udang.
Tidak hanya itu, intrusi air laut masuk ke daratan dan hempasan ombak langsung menyebabkan terganggunya kebun kelapa yang menjadi usaha mereka.
Dari kondisi inilah warga bernama Sulaiman (60) meminta perusahaan tambak udang pindah dari dusun mereka dan dalam diskusi panjang akhirnya perusahaan udang itu gulung tambak atau meninggalkan cerukan besar di bibir pantai.
Dengan tekat kuat, Sulaiman dan warga lainnya mulai menanam kembali mangrove di bibir pantai. Masyarakat swadaya bahu-membahu, bertekad memulihkan kembali mangrove mereka.
Kini, 112 hektare hutan mangrove di Pangkal Babu sudah menghijau, lengkap dengan ikan dan udang yang hidup di antara akar-akar pohon.
Tangkapan udang taji dan udang lumpur yang harga terendah sekitar Rp8 ribu per kilogram, berlipat-lipat. Berbahan baku udang, kini kaum perempuan yang tergabung dalam Kelompok Usaha Bersama Wana Mina, memproduksinya menjadi kerupuk.
Kelompok usaha yang beranggotakan 10 orang ini diketuai oleh Hadirah. Setiap hari anggota kelompok ini ada yang turun ke laut untuk menangkap ikan dan udang. Menangkap udang biasanya dilakukan menjelang air laut surut, sampai kembali pasang atau hanya sekitar dua jam. Dalam waktu itu, nelayan biasanya mampu membawa pulang 3-5 kilogram udang taji, udang galah, udang peci dan aneka jenis ikan, dengan jumlah yang lumayan banyak.
Apresiasi
Pemerintah Kabupaten Tanjungjabung Barat, mengapresiasi pembentukan Perdes sebagai upaya melakukan perlindungan penuh terhadap hutan mangrove di Pangkal Babu.
Kawasan hutan mangrove merupakan kawasan yang sangatlah penting bagi keberlangsungan ekosistem pesisir dan laut yang ada di Kabupaten Tanjungjabung Barat karena di dalamnya terdapat berbagai aktivitas pemanfaatan kawasan oleh masyarakat dan pemerintah.
Bupati Tanjungjabung Barat Anwar Sadat berharap dengan adanya Perdes untuk melindungi magrove tersebut dapat mendorong terbitnya Peraturan Bupati Tanjungjabung Barat terkait pengelolaan kawasan hutan mangrove secara lebih rinci, dengan didukung oleh pemetaan zonasi kawasan hutan mangrove yang spesifik.
Kabupaten Tanjungjabung Barat sebagian besar kawasannya merupakan hutan mangrove. Kabupaten ini wilayahnya berada di pesisir dari Provinsi Jambi. Oleh karena itu, melindungi dan melestarikan hutan mangrove berarti sama dengan melindungi kawasan di Kabupaten Tanjungjabung Barat ini tetap lestari.
Editor: Slamet Hadi Purnomo
COPYRIGHT © ANTARA 2022
Artikel ini bersumber dari www.antaranews.com.