Seorang wartawan Myanmar yang merupakan kontributor Voice of America (VOA) Burmese Service, atau layanan Bahasa Myanmar, dihukum tiga tahun penjara dengan kerja paksa pada hari Jumat (7/10), setelah didakwa dengan tuduhan penghasutan.
Sithu Aung Myint, yang juga menjadi kontributor SkyNet dan Frontier Myanmar, ditahan sejak 15 Agustus 2021.
Putusan pengadilan pada hari Jumat itu adalah putusan atas satu dari tiga kasus yang didakwakan terhadap Myint di tiga kota berbeda di Yangon. Ia dituduh menghasut dan mencemarkan nama baik angkatan bersenjata dan negara.
Myint dijadwalkan untuk kembali menghadiri persidangan pada 13 Oktober mendatang.
Pengacara Myint mengatakan kepada VOA Burmese Service bahwa ia akan mengajukan banding terhadap putusan hari Jumat ke pengadilan yang lebih tinggi.
Putri Myint, yang tidak ingin namanya diketahui, mengatakan bahwa ayahnya tidak melakukan kejahatan apa pun. Ia mengatakan bahwa yang dilakukan sang ayah hanyalah menulis berita secara profesional, berdasarkan fakta.
Menurut Committee to Protect Journalist, kelompok pegiat kebebasan pers yang bermarkas di New York, media setempat yang dikelola pihak militer mengatakan bahwa Myint ditangkap akibat artikel yang ia unggah ke media sosial. Artikel itu mengkritisi junta dan diduga menghasut orang-orang untuk mendukung pihak oposisi dan ikut serta dalam unjuk rasa.
Juru bicara militer Myanmar sebelumnya mengatakan kepada VOA bahwa pemerintah junta tidak menangkap wartawan karena berita yang mereka laporkan.
Sithu Aung Myint terkenal di Myanmar berkat laporannya mengenai isu-isu politik, bisnis dan sosial.
Ia telah menjadi kontributor VOA sejak tahun 2014 dengan laporan-laporan analisis mingguannya.
Artikel terakhirnya untuk VOA, yang fokus mengetengahkan masalah vaksin COVID-19, diterbitkan pada 9 Agustus 2021, beberapa hari sebelum penangkapannya.
VOA pada hari Jumat (7/10) mengecam penahanan Myint dan wartawan lainnya di Myanmar.
“Pemerintah Myanmar harus menghentikan penangkapan dan penahanan tanpa pandang bulu terhadap para jurnalis dan proses hukum yang mengikutinya,” kata penjabat Direktur VOA Yolanda López dalam sebuah pernyataan. “Rakyat Myanmar berhak hidup di tengah masyarakat yang menerima berita akurat dan objektif.”
Pemerintah militer Myanmar mendakwa Myint dengan Pasal 505 KUHP negara itu, yang berkaitan dengan pencemaran nama baik angkatan bersenjata dan negara.
Sejak pihak militer mengambil alih kekuasaan pada Februari 2021, wartawan semakin sering menghadapi dakwaan penghasutan dengan Pasal 505. Sejak kudeta, lebih dari 120 wartawan telah ditahan, menurut Reporting ASEAN, yang mencatat kasus penangkapan di Myanmar. Dari semua itu, hampir 50 orang di antaranya masih ditahan.
Sebagian besar ditangkap ketika meliput aksi unjuk rasa menentang para penguasa militer.
Pada hari Rabu (5/10), sebuah pengadilan di Myanmar memvonis wartawan Jepang Toru Kubota dengan hukuman tiga dan tujuh tahun penjara atas dakwaan penghasutan dan pelanggaran undang-undang transaksi elektronik.
Kubota ditangkap Juli lalu ketika meliput unjuk rasa anti-pemerintah, menurut laporan The Associated Press.
Anggota parlemen Uni Eropa pada hari Kamis (6/10) mengutip kasus Myint, kontributor BBC Htet Htet Khine dan wartawan lepas Nyein Nyein Aye dalam sebuah resolusi untuk mengecam pemberangusan media oleh pemerintah junta Myanmar.
Myint dan Khine ditangkap bersama-sama. Pengadilan menjatuhi Khine dengan hukuman tiga tahun kerja paksa bulan lalu.
Kudeta militer tahun lalu berdampak drastis terhadap perkembangan media independen Myanmar. Kelompok pemantau media Reporters Without Borders (RSF) mengatakan, kudeta itu “melenyapkan kemajuan yang rapuh menuju kebebasan pers yang lebih besar.”
Sejak kudeta, beberapa outlet berita telah dicabut izinnya atau dipaksa menutup atau memindahkan tim mereka ke pengasingan. Myanmar berada di peringkat 176 dari 180 negara dalam Indeks Kebebasan Pers versi RSF. [rd/pp]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.