Suara.com – Turis-turis di kawasan pantai Koh Samui terlihat bersantai sambil menikmati minuman ‘champagne’ yang mahal. Beberapa bahkan mengisap ganja tanpa harus sembunyi-sembunyi.
Beberapa bulan lalu Thailand memutuskan untuk menghapus ganja dari daftar narkotika ilegal yang dilarang beredar.
Kini orang-orang di Thailand bisa menanam, menjual dan menggunakannya untuk keperluan medis.
Namun, undang-undang yang mengatur pemakaian ganja untuk rekreasi belum disahkan di parlemen, sehingga membuat para turis dan “pengusaha ganja” memanfaatkan situasi tersebut.
Baca Juga:
Legislator Aceh Usul Rancangan Qanun Legalisasi Ganja Medis Jadi Skala Prioritas
“Permintaan ganja tinggi,” kata pemilik klub pantai Carl Lamb, seorang ekspat asal Inggris dan sudah tinggal di Koh Samui selama 25 tahun.
Carl yang memiliki banyak klub di Thailand mengatakan penggunaan ganja yang tidak lagi dianggap tindak kriminal telah memiliki “dampak sangat besar.”
“Setiap kali orang menelepon, mereka selalu bertanya, ‘Benar enggak sih di Thailand sekarang sudah boleh menjual dan mengisap ganja?'” katanya.
“Saya belum pernah menyaksikan minat untuk datang ke Koh Samui sebanyak ini dalam 10 tahun terakhir.”
Secara teknis, warga bisa didenda sebesar Rp10 juta atau dipenjara tiga bulan kalau tertangkap merokok ganja di tempat umum.
Baca Juga:
Usulkan Rancangan Qanun Ganja Medis, DPRA: Negara Lain Sudah Meneliti, Kita Kapan?
“Polisi sempat mengunjungi kami ketika ganja pertama kali dilegalkan tapi kami sudah mencari informasi tentang aturannya, sehingga mereka hanya mengingatkan kembali,” katanya.
Undang-undang Thailand melarang ibu hamil, menyusui atau anak-anak di bawah 20 tahun untuk mengonsumsi ganja.
“Dan [polisinya mengatakan] kalau ada yang melanggar aturan ini, kami harus menghentikan mereka … kami menyambut aturan ini.”
Sejauh ini, Carl belum bertemu dengan siapapun yang tidak menyetujui aturan baru tersebut.
“Thailand sudah seperti Amsterdam baru,” ujar Carlos Oliver, seorang turis asal Inggris yang sedang menginap di resor tersebut.
“Kami tiba [di Thailand] waktu ganja masih belum ada, lalu sebulan kemudian kita bisa membeli ganja di mana pun, di bar, kafe, atau bahkan di jalan. Jadi kami mengisapnya dan berpikir keren banget ini.”
‘Tak pernah terpikir akan terjadi’
Di ibukota Thailand, Bangkok, bisnis ganja yang baru muncul setiap pekannya.
Seorang warga bernama Kitty Chopaka masih tidak percaya kalau dirinya boleh menjual ganja selain dari permen rasa ganja di tokonya di daerah Sukhumvit.
“Ya ampun, saya tidak pernah terpikir hal seperti ini akan terjadi,” ujar pendukung setia dilegalkannya ganja tersebut.
Kitty mengatakan muncul kebingungan di apotek, serta di kalangan pelanggannya, setelah pemerintah menegaskan ganja hanya boleh digunakan untuk keperluan pengobatan dan terapi saja.
Ekstrak ganja harus memiliki kurang dari 0,2 persen bahan kimia psikoaktif THC, namun belum ada undang-undang yang mengatur tumbuhannya yang dikeringkan.
Meski undang-undang melarang publik untuk merokok ganja di tempat umum, tidak ada aturan yang melarang merokok ganja di properti pribadi.
Sementara itu, di bagian Bangkok lainnya, tepatnya di Khao San Road, sudah banyak bermunculan toko ganja dalam berbagai bentuk dan ukuran.
Soranut Masayavanich yang memiliki nama panggilan “Beer”, dulunya adalah petani dan penjual ganja, meski dilakukan secara diam-diam.
Tapi sejak aturan berubah, ia langsung membuka toko di daerah perkotaan Sukhumvit.
Di tokonya, terlihat antrean pelanggan yang ingin memesan ganja dalam berbagai kekuatan, rasa, dan jenis.
“Rasanya seperti mimpi setiap hari, saya harus mencubit diri sendiri,” kata Beer.
“Segalanya berjalan dengan baik. Bisnis juga lancar sekali.”
Selama berabad-abad, ganja ditanam secara liar di Thailand dan merupakan obat tradisional.
Namun di tahun 1970-an, ketika Amerika melakukan “perang terhadap narkoba”, Thailand menggolongkan ganja sebagai golongan narkotika “Kelas 5”, dan menetapkan sanksi denda serta kurungan penjara.
Ketika ganja didekriminalisasi pada bulan Juni lalu, lebih dari 3.000 tahanan dikeluarkan dari penjara dan catatan kriminal mereka terkait ganja dihapus.
Ini merupakan sesuatu yang menakjubkan, mengingat Thailand menganut kebijakan nol toleransi untuk urusan ganja.
Tossapon Martmuang dan Peerapat Sajjabanyongkij sedang menjalani hukuman tahanan tujuh setengah tahun setelah mengedarkan 355 kilogram ganja di daerah utara Thailand.
Namun ketika undang-undang direvisi, mereka dikeluarkan dari penjara padahal baru empat bulan menjalankan hukuman.
“Rasanya seperti memenangkan lotre, lebih menyenangkan dari memenangkan hadiah utama lotre,” ujarnya.
Kekhawatiran dampak ganja bagi anak muda
Banyak warga Thailand khawatir terhadap masa depan anak-anak dengan dilegalkannya ganja, meski saat ini baru untuk keperluan medis.
Sebuah survei menemukan mayoritas warga Thailand tidak ingin anak-anak menghidupi kebudayaan “ganja”.
Dekan Universitas Chulalongkorn Dr Chanchai Sittipunt mengatakan terdapat data yang mengatakan pemakaian ganja bisa memiliki dampak kognitif jangka panjang bagi anak muda.
“Bahkan jika sudah dewasa dan digunakan jangka panjang, menurut saya tetap ada efek sampingnya,” kata Dr Chanchai.
Lebih dari 1.000 dokter Thailand telah megajukan petisi kepada pemerintah untuk menunda dekriminalisasi ganja sampai undang-undang baru sudah dikeluarkan parlemen.
Mereka mendukung penggunaan ganja untuk keperluan medis, bukannya seperti sekarang yang membuka celah penggunaan ganja untuk rekreasi.
Dr Chancai mengatakan sudah jelas sekali bahwa saat ini mata dunia tertuju pada Thailand dengan dilegalkannya ganja.
Mereka penasaran apakah Thailand akan menjadi “Amsterdam di Asia”.
“Saya tidak mau Thailand dilihat sebagai destinasi seperti itu, kami tidak mau Thailand menjadi surga ganja di dunia,” katanya.
Diproduksi oleh Natasya Salim dari laporan ABC News dalam bahasa Inggris
Artikel ini bersumber dari www.suara.com.