Seorang mantan polisi mendatangi pusat penitipan anak di kota Nongbua Lamphu, Thailand dan membunuh puluhan balita dan guru. Ia juga menembaki orang-orang lainnya ketika berusaha melarikan diri. Insiden ini merupakan insiden terburuk dalam sejarah di Thailand.
Pihak berwenang mengatakan pelaku dipecat dari kepolisian pada awal tahun ini karena melakukan pelanggaran terkait narkoba. Ia kemudian bunuh diri setelah membunuh istri dan anaknya di rumahnya.
Seorang saksi mata mengatakan staf di pusat penitipan anak itu mengunci pintu ketika melihat pelaku datang dengan membawa senjata, tetapi ia menerobos masuk dengan menembaki pintunya. Sebuah rekaman video yang beredar di internet setelah serangan itu memperlihatkan anggota keluarga yang panik terdengar menangis di luar pusat penitipan anak tersebut. Salah satu gambar menunjukkan lantai di suatu ruangan yang dipenuhi darah dan terlihat kasur yang berserakan
Setidaknya 37 orang meninggal dalam serangan itu, menurut juru bicara polisi Archayon Kraithong, dan setidaknya 24 adalah anak-anak dan mayoritas balita. Dua belas orang lainnya luka-luka.
“Guru yang meninggal, mendekap seorang anak,” kata saksi yang namanya tidak disebut, kepada TV Thailand Kom Chad Luek di lokasi penembakan. “Saya tidak mengira dia anak membunuh anak-anak, tetapi ia masuk dengan menembaki pintu.”
Polisi telah mengidentifikasi pelaku, yaitu seorang mantan polisi berusia 34 tahun bernama Panya Kamrap. Mayjen Paisel Luesomboon mengatakan kepada PPTV bahwa pelaku dipecat awal tahun ini karena melakukan pelanggaran terkait narkoba.
Pelaku menggunakan berbagai senjata, termasuk pistol, senapan dan pisau, kata Paisel.
Menurut kepala polisi setempat Damrongsak Kittiprapha, pelaku berpangkat sersan sebelum dipecat, dan senjata yang ia gunakan adalah pistol 9mm yang ia beli sendiri.
“Kami masih menyelidiki insiden ini,” ujarnya. “Ini hari pertama dan kami belum punya semua informasi detil.”
Jumlah kematian akibat kontak senjata di Thailand jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara seperti Amerika Serikat dan Brazil, tetapi lebih tinggi daripada negara lain seperti Jepang dan Singapura yang mempunyai undang-undang senjata yang lebih ketat. Rata-rata kematian akibat senjata api pada 2019 sekitar empat dari 100.000 kematian, dibandingkan 11 dari 100.000 kematian di Amerika atau hampir 23 dari 100.000 di Brazil.
Bulan lalu, seorang pegawai menembak koleganya di Army War College di Bangkok, menewaskan dua orang dan melukai satu orang lainnya sebelum ia akhirnya ditangkap.
Penembakan massal terburuk sebelumnya juga melibatkan seorang tentara yang menembaki sebuah mal di Kota Nakhon Ratchasima pada tahun 2020 dan menewaskan 29 orang. Ia akhirnya tewas ditembak polisi.
Perdana Menteri Thailand Prayut Chan-o-cha, mengatakan kepada wartawan bahwa menurut laporan awal, mantan polisi itu tengah menghadapi masalah keluarga.
“Ini seharusnya tidak terjadi,” ujarnya. “Saya merasakan kesedihan mendalam bagi korban dan keluarga mereka.” [dw/ah]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.