Ketua Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Surabaya (Pusham Ubaya), Sonya Claudia Siwu, mengatakan tragedi di stadion Kanjuruhan Malang selepas pertandingan Liga 1 antara Arema FC dan Persebaya terjadi akibat kurangnya antisipasi yang dilakukan oleh pihak penyelenggara pertandingan maupun aparat keamanan.
Penggunaan gas air mata oleh aparat untuk mengendalikan massa merupakan bukti kurangnya antisipasi dalam penanganan suporter.
“Yang sangat disayangkan, sebenarnya kejadian atau peristiwa itu bisa diantisipasi, jika memang panitia pelaksana juga aparat keamanan itu paham betul situasi atau kondisi yang mungkin terjadi. Atau mungkin mempelajari bagaimana karakter dari suporter ini, waktu pelaksanaannya. Jadi, sebenarnya hal-hal yang secara teknis yang seharusnya sudah bisa sudah bisa diantisipasi,” ujar Sonya.
Ia menekankan pentingnya aparat maupun penyelenggara pertandingan selalu melakukan pendekatan hak asasi manusia kepada suporter, untuk mengurangi kesalahpahaman maupun kekeliruan dalam menerapkan standar prosedur pengendalian massa.
“Pendekatan kemanusiaan yang disini saya ingin tekankan, pendekatan kemanusiaan dari panitia pelaksana, dan aparat pengamanan yang memang terlihat abai untuk memfasilitasi para suporter,” tambahnya.
Sementara itu, Sekjen Federasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Andy Irfan Junaidi, menyebut telah terjadi penyalahgunaan kewenangan dan kekuatan negara pada peristiwa di Stadion Kanjuruhan tersebut yang menewaskan setidaknya 131 orang, termasuk diantaranya anak-anak. Andy menilai kelalaian dan penyalahgunaan kewenangan itu telah mengakibatkan jatuhnya korban.
“Dengan peristiwa yang semacam ini, maka korban itu berhak mendapatkan restitusi. Mereka menjadi korban penyalahgunaan kewenangan kekuatan oleh aparat yang berdampak adanya korban meninggal dunia. Artinya negara punya kewajiban untuk membayar ganti rugi, restitusi kepada korban, jadi bukan santunan,” katanya.
Presiden Joko Widodo sendiri telah memerintahkan pemberian santunan sebesar Rp50 juta kepada masing-masing keluarga dari pendukung yang tewas dalam tragedi di stadion Kanjuruhan tersebut.
Kontras, menurut Andy, mendorong dibentuknya tim independen yang melibatkan semua pihak, termasuk Aremania, selaku kelompok suporter yang turut menjadi korban. Pembentukan tim independen dinilai penting untuk dapat mengungkap fakta sebenarnya dari tragedi ini, dan menghadirkan asas keadilan bagi korban.
Pemerintah sendiri telah membentuk tim independen gabungan pencari fakta untuk menyelidiki tragedi di stadion Kanjuruhan pada Selasa (4/10). Tim, yang diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD itu, terdiri dari akademisi, pengamat olahraga, mantan pemain bola, hingga mantan pengurus Persatuan Sepak Bola seluruh Indonesia (PSSI).
Presiden Jokowi telah memerintahkan bahwa tim tersebut harus bergerak cepat dan mengungkap hasil temuan mereka dalam waktu satu bulan, namun Mahfud mengatakan bahwa ia meminta timnya agar mampu menyelesaikan investigasinya dalam waktu dua minggu, demikian dilaporkan kantor berita Antara.
“Kita melihat belum ada indikasi keterbukaan dalam mengungkap semua fakta pada peristiwa ini. Itu mengapa saya mendorong dibentuk tim independen yang melibatkan sejumlah pihak, ada Kepolisian, ada Aremania, ada pemerintah, ada lembaga-lembaga yang punya kompetensi secara khusus untuk terlibat di dalam pengambilan dan pengolahan fakta. Karena banyak korban meninggal juga tidak ada yang pakai visum.” [pr/rs]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.