Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan pemerintah terus mengembangkan proyek lumbung pangan di beberapa titik.
Airlangga menjelaskan, lumbung panan yang saat ini sedang digenjot pembangunannya adalah di Kalimantan Tengah. Menurutnya, Kementerian Pertanian sudah mengembangkan lumbung pangan di wilayah tersebut hingga 60 ribu hektare.
“Terhadap pengembangan food estate di Kalimantan Tengah, Bapak Presiden mengarahkan bahwa untuk pengembangan pembuatan saluran air, dan pengolahan lahan itu akan ditugaskan kepada Kementerian PUPR, sehingga nanti Kementerian Pertanian tinggal masuk pada lahan yang sudah siap, dan juga untuk pengembangan selanjutnya juga di lahan yang sudah siap, disiapkan oleh Kementerian PUPR,” ungkap Airlangga.
Pemerintah, ujarnya, juga sedang mengembangkan lumbung pangan di Sumatera Utara yang realisasinya sampai dengan saat ini baru mencapai tujuh hektare dari target 22 hektare.
“Ini diberikan penugasan kepada Bupati Humbahas (Humbang Hasundutan) sebagai penanggung jawab sesuai dengan keputusan dari Menko Marinves. Namun, ini (Sumatra Utara) akan punya potensi lebih besar lagi dan diberi tugas kepada Menteri Pertanian untuk juga melakukan intervensi kegiatannya,” kata Airlangga.
Airlangga mengungkapkan, lumbung pangan di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang akan dipersiapkan di Kabupaten Belu memiliki luas 559 hektare dengan komoditas utama jagung. Selain itu, katanya, pihaknya akan mengembangkan lumbung pangan di Sumba Tengah seluas 10 ribu hektare.
Pemerintah, katanya juga akan mendorong pengembangan lumbung pangan di Papua, tepatnya di wilayah Merauke dan Kerom, dengan luasan masing-masing satu juta hektare dan 3.000 hektare.
“Beberapa hal yang menjadi catatan, terkait dengan Badan Cadangan Logistik Strategis. Arahan Bapak Presiden bahwa regulasinya dibuat dalam satu Peraturan Presiden. Jadi Perpresnya nanti satu terkait dengan peningkatan penyediaan pangan nasional melalui pengembangan kawasan food estate, di mana di dalamnya termasuk Badan Cadangan Logistik Strategis yang nanti akan dipimpin Bapak Menteri Pertahanan,” tuturnya.
Proyek Food Estate Selalu Gagal
Pengamat pangan sekaligus Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santoso mengungkapkan proyek lumbung pangan yang digadang-gadang oleh pemerintah saat ini berpotensi gagal seperti puluhan tahun yang lalu, apabila pemerintah tidak melakukan perbaikan yang berarti.
Ia mencontohkan, kegagalan proyek lumbungn pangan tersebut dimulai dari proyek lahan gambut sejuta hektare di Kalimantan Tengah pada 25 tahun yang lalu. Dalam perjalanannya, lahan tersebut hancur, dimana keanekaragaman hayati hancur total, kemudian terjadi fragmantasi habitat. Selain itu, lokasi tersebut juga menjadi pusat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia.
“Di masa (Presiden) SBY dikembangkan lagi (food estate) Ketapang 100 ribu hektare, Bulungan 300 ribu hektare, Merauke Intergrated Food and Energy Estate 1,23 juta hektare hasilnya apa? Nol besar, gagal total semua itu,” ungkapnya kepada VOA.
Pengembangan proyek lumbung pangan di awal pemerintahan Presiden Joko Widodo, yakni Rice Estate di Merauke seluas 1,2 juta hektare juga kembali gagal. Selain itu, saat ini pemerintah seringkali kali mengklaim proyek pembangunan pertanian yang dilakukan oleh Kementerian Pertanian sebagai proyek food estate. Padahal, katanya, seringkali kali proyek pembangunan pertanian yang dilakukan oleh Kementerian Pertanian ini merupakan intensifikasi lahan pertanian, bukan merupakan ekstensifikasi lahan pertanian yang akan dijadikan lumbung pangan.
“Saat ini banyak proyek-proyek pertanian yang kemudian dikategorikan sebagai food estate, barang kali maksudnya , kalau ada yang sukses disebut, ini loh food estate sukses, padahal itu bukan, itu adalah proyek intensifikasi lahan. Karena mungkin sudah dibudidayakan sangat lama puluhan tahun, petaninya ada, itu bukan food estate. Jadi itu yang harus diingat. Kekhawatiran saya untuk menurupi kegagalan di proyek food estate, berbagai proyek pertanian dikategorikan sebagai food estate,” kata Andreas
Faktor Penting Gagalnya Proyek ‘Food Estate’
Lebih jauh, Andreas menjelaskan kegagalan dalam mengembangkan proyek lumbung pangan sejak puluhan tahun lalu sampai saat ini adalah karena pemerintah mengingkari empat pilar kaidah pembangunan lahan pertanian dalam skala besar.
Pertama, adalah terkait kesesuaian tanah dan agro climate yang tidak terpenuhi di beberapa proyek lumbung pangan yang ia amati selama 25 tahun terakhir .
“Misalnya satu tanaman tertentu dipaksakan di lahan tertentu yang tidak cocok, agro climate-nya gak cocok, ya pasti gagal lah,” katanya.
Kedua, adalah terkait kelayakan infrastruktur. Ia mencontohkan lumbung pangan di Kalimantan Tengah yang infrastrukturnya seperti tata kelola air yang dibangun tidak maksimal karena alasan pendanaan, sehingga membuat lumbung pangan di wilayah tersebut gagal untuk berkembang.
“Ketiga, terkait kelayakan budi daya dan teknologi. Apakah ada varietas-varietas tertentu yang cocok untuk wilayah setempat? Apakah ada teknologi pendampingnya? teknologi pemupukannya? teknologi pengendalian hama? karena pembukaan lahan baru selalu berisiko dengan hama. Kalau itu tidak bisa dipenuhi, jawabannya gagal,” jelasnya.
Lalu pilar terakhir adalah pilar sosial dan ekonomi, yang menurutnya terkadang dilupakan oleh pemerintah. Ia mengungkapkan pembukaan lahan dalam skala besar tentu selalu dibarengi dengan konflik sosial seperti hak wilayah dan sebagainya, terutama di Papua.
Lantas kemudian, solusi apa yang harus dilakukan oleh pemerintah agar kelak proyek food estate ini berhasil? Andreas menyarankan kepada pemerintah untuk fokus memperbaiki proyek lahan gambut sejuta hektare di Kalimatan Tengah yang kondisinya sudah hancur.
“Jadi sudah fokus ke sana, pilih lokasi tertentu di lahan gambut sejuta hektare tersebut yang memiliki empat pilar, atau paling tidak ada upaya pemerintah supaya empat pilar tersebut dipenuhi untuk tempat-tempat tertentu saja, keciil-kecil saja. Mungkin ratusan hektare, dipilih betul, lalu kemudian dikembangkan di sana,” tegasnya.
Ia mengatakan bahwa pemerintah juga harus menyiapkan petani untuk menggarap proyek lumbung pangan tersebut. ia mengusulkan setiap rumah tangga petani mendapat jatah lahan seluas 10 hektare untuk digarap, sehingga hasilnya diharapkan akan lebih baik dari sebelumnya.
“Bisa saja nanti tahun 2024, ganti lagi atau dilupakan, selesai sudah. Mungkin perlu rencana jangka panjang yang harus ditaati oleh setiap pemerintah di republik ini. Gelontorkan seluruh dana ke proyek lahan gambut satu juta hektare, untuk memperbaiki lingkungan, untuk mereklamasi lahan yang sekarang rusak berat. Lalu digunakan untuk pengembangan pangan di sana. Kalau dana disebar ke sana kemari, ya sudah, hasilnya pasti gagal dan kita akan mengulangi kegagalan yang sama di pemerintahan yang akan datang kalau ada rencana food estate lagi,” pungkasnya. [gi/ab]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.