Pakar Hukum Administrasi dari Universitas Atmajaya, Yogyakarta, Dr. W. Riawan Tjandra, mengingatkan, dalam teori hukum adminitrasi ada adagium terkait norma-norma tersebulung dibalik kebijakan. Ketika sebuah keputusan diambil, ada potensi hal itu memberi kewenangan yang lebih besar, kepada pejabat yang melaksanakannya.
Pemberian wewenang berlebihan terhadap penjabat kepala daerah oleh Menteri Dalam Negeri, mungkin dimaksudkan untuk efisiensi. Namun, kebijakan itu juga membentuk membentuk norma hukum diluar kewenangan pejabat itu.
“Dalam hal ini, sebenarnya tidak saya arahkan kepada Mendagri. Tetapi secara umum, dalam konteks penggunaan kewenangan diskresi, ada adagium hukum yang disebut dengan limites discretionis et arbitrii admandum tenues sunt. Batas diskresi dan kesewenang-wenangan sangatlah tipis,” kata Riawan, Selasa (4/9).
Riawan menyampaikan paparan dalam diskusi terkait keputusan Mendagri, yang diselenggarakan Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, dan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN).
Penjabat kepala daerah adalah seseorang yang dipilih oleh pemerintah, untuk melaksanakan tugas gubernur, bupati atau wali kota yang masa jabatannya berakhir sebelum 2024. Biasanya, penjabat kepala daerah hanya bertugas dalam hitungan pekan atau bulan. Namun, karena kesepakatan Pilkada serentak 2024, kali ini penjabat bisa bertugas selama dua tahun atau bahkan lebih.
Menteri Dalam Negeri memang telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 821/5492/SJ. Sekretaris Jenderal Kemendagri, Suhajar Diantoro dalam keterangan tertulis mengatakan, dasar kebijakan baru itu adalah karena kewenangan penjabat kepala daerah terbatas. Selama ini, untuk memberi sanksi kepada ASN yang melanggar hukum dan melakukan mutasi pegawai antardaerah, harus melalui persetujuan Mendagri.
Karena aturan itu, pengajuan izin dari penjabat kepala daerah menumpuk di Kemendagri. Solusinya, kewenangan akhirnya didelegasikan kepada penjabat kepala daerah yang meliputi persetujuan melakukan pemberhentian, pemberhentian sementara, dan penjatuhan sanksi bagi ASN yang melanggar disiplin atau tindak lanjut proses hukum sesuai peraturan perundang-undangan.
Sejumlah pihak, termasuk DPR mengkritisi keputusan ini. Jika penjabat kepala daerah bisa memindahkan ASN di bawahnya, dia dapat mengatur posisi pejabat strategis untuk kepentingan Pemilu 2024. Seperti diketahui, peran pejabat di daerah sangat dominan dalam mempengaruhi pilihan masyarakat, melalui program-program sosial di daerah.
Riawan menyarankan, Mendagri melakukan rekonversi kebijakan, untuk mengembalikan aturan lama yang sebelumnya berlaku. Dalam sistem hukum di Indonesia, surat edaran menteri tidak dapat diuji materinya ke pengadilan, seperti Mahkamah Konstitusi maupun Mahkamah Agung.
Kegaduhan Sudah Terjadi
Fokus dalam isu penjabat kepala daerah saat ini, adalah siapa yang akan menggantikan Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta. Anies akan berakhir masa tugasnya pada 16 Oktober 2022 ini. Dengan demikian, hingga Pilkada pada November 2024 nanti, Jakarta akan dipimpin oleh seseorang yang dipilih oleh pemerintah. Presiden Joko Widodo dan Mendagri Tito Karnavian adalah dua penentu penting dalam proses ini.
Pakar Otonomi Daerah, Prof Djoehermansyah Djohan, mengingatkan penunjukan sejumlah penjabat kepala daerah sebelum ini, sudah menimbulkan banyak kegaduhan.
“Akibat-akibat dari persoalan pengangkatan yang carut marut ini, maka timbullah berbagai macam kegaduhan. Ada pengangkatan Penjabat yang tidak transparan, tidak partisipatif, tidak memiliki pengalaman juga diangkat. Tidak punya kompetensi pemerintahan,” kata Djohan dalam diskusi yang sama.
Kegaduhan itu menurut catatan Djohan, antara lain disebabkan oleh keputusan Mendagri mengangkat penjabat dari TNI ataupun polisi.
“Ini kan kita tahu, itu sudah ditinggalkan, zaman dulu itu Dwi Fungsi ABRI dan sebagainya. Faktanya ada tentara aktif yang diangkat, juga ada polisi pensiunan yang baru saja dialihkan menjadi pejabat PNS, juga diangkat,” kata dia.
Selain itu, penjabat yang diangkat disinyalir juga banyak yang tidak kompeten memimpin daerah. Misalnya ada yang berlatar belakang pertambangan dan staf ahli menteri di bidang olahraga. Pilihan menteri kadang juga menimbulkan polemik, karena justru memilih Sekretaris Daerah, yang sebelumnya sudah dicopot oleh gubernur lama. Ada juga yang diangkat tanpa mendengar aspirasi daerah, sehingga dalam pelantikan gubernur lama tidak hadir.
“Kegaduhan yang lain juga, sudah terjadi ini, potensi konflik dengan birokrasi. Ada penjabat yang belum lama menjabat, sudah memutasi pegawai,” tambah Djohan.
Perlu Perubahan Mendasar
Sementara, pakar hukum konstitusi dari PSHK UII, Dr Jamaludin Ghafur justru menyebut perlunya perubahan secara mendasar. Pemerintah masih akan terus memilih penjabat kepala daerah sampai 2023, karena itu perubahan masih memungkinkan.
Ghafur menyatakan, secara garis besar ada dia jabatan dalam pemerintahan, yaitu profesional dan politis.
“Jabatan profesional, yang ini adalah pejabat-pejabat yang harus independen dari intervensi politik. Lalu yang kedua adalah jabatan politik, yang mekanismenya itu dipilih oleh rakyat secara langsung atau melalui lembaga perwakilan,” kata Ghofur.
Jabatan kepala daerah esensinya adalah jabatan politik. Jabatan ini membutuhkan persetujuan rakyat, atau setidak-tidaknya persetujuan wakil rakyat. Karena itulah, mekanisme pemilihan penjabat kepala daerah yang sepenuhnya dilakukan pihak pemerintah sejak awal patut dipertanyakan.
“Kenapa tidak, misalnya, kemarin ketika kita memutuskan untuk tidak ada Pilkada, lalu kemudian diangkat penjabat, kenapa tidak penjabatnya dilakukan melalui mekanisme fit and proper test di DPRD,” tambahnya.
Dengan menyerahkan urusan pemilihan penjabat kepala daerah ke mekanisme politik di daerah, sistemnya akan lebih elegan dan sesuai dengan kedudukan dan fungsi kepala daerah itu sendiri, lanjut Ghofur.
Salah satu alasan terpenting, adalah karena penjabat kepala daerah akan bekerja bersama DPRD. Jika penjabat secara politis tidak memiliki dukungan di DPRD, akan menimbulkan persoalan.
“Saya kira, kalau memang masih memungkinkan untuk dilakukan perubahan pengisian penjabat yang masih akan datang ini, yang belum terlaksana, penting juga dipikirkan perubahan mekanisme ini,” tandasnya. [ns/ab]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.