Lahir di Boyolali, Jawa Tengah, Harama Salim yang lebih suka dipanggil Salim, 53 tahun, adalah seorang pelukis otodidak. Ia kehilangan kedua lengannya ketika masih duduk di kelas empat SD atau berusia 11 tahun di kampung halamannya, Boyolali.
“Kalau sore setelah membantu orangtua menggembala kambing, hiburan saya sebelum maghrib naik kereta api dari stasiun satu ke stasiun berikutnya. Kebetulan ketika akan balik, terpeleset, jatuh tangan kiri dan terlindas kereta api, kemudian reflek tangan kanan mau mengambil tangan kiri dan tangan kanan juga kena (lindas),” tuturnya kepada VOA.
Setelah tragedi menyedihkan yang mengubah hidupnya itu, Salim memulai terapi dengan kakinya yang sejak itu berfungsi sebagai tangannya.
“Saya terapilah, dari batu kecil, kerikil, dari biji-bijian dan sebagainya, belajar menulis, buka baju, pegang sendok,” ujarnya.
Ya, semua itu Salim lakukan dengan kaki dan mulutnya. Setelah dewasa, pada suatu hari ia bertemu dengan seorang pelukis. Dari sanalah ia kemudian tertarik untuk melukis yang ia pelajari secara otodidak. Bahkan lima lukisannya setiap tahun diserahkan ke organisasi Mouth and Foot Painting Artists (MFPA) yang berpusat di Swiss, untuk dinilai.
Salim yang mulai melukis sejak tahun 2004 itu, kini mempunyai ratusan lukisan. Tujuh karya lukisnya di antaranya lukisan bunga dan buah-buahan, diterima oleh MFPA Swiss dan memperoleh hadiah yang cukup besar. Biasanya lukisan itu dicetak ke dalam bentuk kartu pos atau kalender dan dipasarkan ke 45 negara.
Organisasi MFPA di Amerika terdapat di kota Atlanta, Georgia. Lain halnya dengan kantor pusat MFPA di Swiss, MFPA Amerika memberi uang saku tiap bulan kepada anggotamya, karena organisasi ini benar-benar mencari keuntungan dengan menjual karya seni pelukis mulut dan kaki. Terdapat 52 pelukis yang bergabung dalam MFPA Amerika.
Untuk di Indonesia, karya lukis Salim dipamerkan di sanggar “Tirta Kelapa” Art Space Yogyakarta. Pemiliknya, Pambudi Sulistio yang juga membina anak-anak untuk mencintai seni lukis mengatakan, sanggar seninya juga mendukung karya seniman disabilitas.
Selain Salim, ada pula seorang pelukis tunanetra seperti yang ia tuturkan kepada VOA.
“Pariatmojo yang tunanetra, kemudian Salim Harama yang tidak mempunyai kedua tangannya, dengan aktifitas menorehkan karyanya dengan kaki dan mulut, tetapi ada hal yang lebih penting dari kedua seniman ini, terutama pak Harara Salim ini, dalam melakukan proses kreatifnya, dia melalui proses-proses yang cukup unik, yaitu meditasi,” tutur Sulistio.
Ditanya VOA mengenai kemampuan hebat mereka dalam seni lukis dengan keterbatasan fisik mereka, Sulistio mengatakan, “Warna-warna atau media-media yang dia lakukan dengan fisik yang terbatas itu, tetapi bisa mewujudkan apa yang diinginkan, baik itu dalam bentuk visual rupa, dimensi-dimensi realis, walaupun tidak sempurna di dalam perwujudan realismenya, tetapi pesan yang dibuat bisa menjawab apa yang menjadi inspirasi pak Salim sehingga apa yang disampaikan (karya lukisnya) bisa ditangkap oleh siapa saja.”
Kini terdapat tiga lukisan Salim yang dipajang di sanggar seni itu, yang sering dikunjungi oleh para pelajar dan penggemar seni lukis.
Mengakhiri perbincangan dengan VOA, Salim mengatakan ia puas dengan apa yang telah dicapai dalam hidupnya. Ia tetap tegar untuk terus berkarya melalui goresan kuas dengan menggunakan kaki dan atau mulutnya. [ps/em]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.