Sebagai upaya mencegah risiko perdagangan manusia, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang akan dibahas DPR akan mengharuskan penyalur PRT berbadan usaha dan tidak lagi berbentuk yayasan.
Ketua Badan Legislasi (Baleg) RUU PPRT Willy Aditya mengatakan penyalur yang berbentuk yayasan rentan dengan tindakan perdagangan manusia. Bentuk badan usaha, katanya, akan memudahkan pengawasan negara karena akan ada aturan-aturan jelas yang mengikat secara hukum.
“Kalau yayasan rentan kepada human trafficking, maka kemudian status-status penyalur harus kita dorong jadi badan usaha,” tukas Willy.
Meski demikian, lanjutnya, selain mekanisme tidak langsung tersebut, perekrutan PRT tetap dapat dilakukan secara langsung sebagaimana yang sering terjadi di Tanah Air. Dalam hal ini, katanya, masalah upah, jenis pekerjaan, jam kerja dan lain-lain akan berdasarkan kesepakatan antara pemberi kerja dan PRT.
“Basisnya adalah kesepakatan bersama, musyawarah kegotongroyongan adalah ini berbasis kepada kultur yang berkembang di masyarakat. Secara upah, jenis kerja, jam kerja berdasarkan kesepakatan,” ujar Willy.
Lebih lanjut, politisi Partai Demokrat tersebut mengatakan RUU PPRT juga akan mengatur soal kepastian terhadap hak dan kewajiban terhadap para PRT dan pemberi kerja. Selain itu DPR akan memastikan RUU tersebut dapat memberikan pendidikan dan pelatihan bagi calon PRT, termasuk tentang pendidikan terkait norma-norma sosial dan budaya sehingga hubungan sosiokultural antara pemberi kerja dan PRT dapat terjaga.
Menurut data Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) dan Koalisi Sipil untuk UU PPRT, sepanjang 2007-2022 masih banyak kasus kekerasan yang menimpa para PRT. Sebanyak 2.637 PRT mengaku bahwa mereka mendapatkan kekerasan, di antaranya 1.148 kasus kekerasan ekonomi berupa tidak dibayarkannya upah, 1.382 kasus kekerasan psikis seperti penyekapan,1.027 kasus kekerasan fisik, 831 kasus kekerasan seksual dan 1.487 kasus tindak perdagangan orang oleh penyalur.
Desak Segera Disahkan
Sementara itu Ari Ujianto dari JALA PRT mendesak pemerintah dan DPR untuk segera menuntaskan pembahasan pengesahan RUU PPRT dan kemudian mengundangkannya. Keberadaan UU tersebut dianggap penting guna memberikan jaminan negara terhadap kaum yang sering kali termarjinalkan.
Selama ini, katanya, PRT sering kali dianggap sebagai pekerja dan kelompok miskin.
“Dengan adanya UU ini, maka negara dapat melindungi mereka lewat dua jaminan sosial, yaitu jaminan ketenagakerjaan dan jaminan kesehatan,” kata Ari.
Jaminan kesehatan, tambahnya, dapat diberikan lewat skema penerima bantuan iuran. Sementara jaminan sosial ketenagakerjaan ada kontribusi pemberi kerja untuk membayar iuran sebagai peserta. Untuk itu, dia mengusulkan hal ini masuk dalam RUU PPRT.
Ari menuturkan, pihaknya memberikan sejumlah usulan terkait RUU tersebut kepada DPR, di antaranya adalah penentuan gaji PRT. Gaji tersebut, kata dia, sejatinya menggunakan upah minimum berdasarkan Upah Minimum Regional (UMR) atau Upah Mininum Provinsi (UMP). Selain itu, katanya, JALA PRT mengusulkan adanya penentuan durasi kerja setiap hari, yaitu delapan jam dengan istirahat.
Nilai Tambah Buruh Migran
Sementara itu Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan pemerintah optimis RUU PPRT akan dapat disahkan dalam dua pekan setelah pembahasan dengan pihak DPR dimulai. Hingga kini pemerintah masih menunggu RUU tersebut disahkan menjadi usul inisiatif DPR untuk memulai pembahasan.
“Saya yakin RUU yang berisi 12 bab dan 34 pasal ini akan dapat disahkan dalam waktu dua pekan saja,” ujar pria yang akrab disapa Eddy Hiariej itu.
Eddy menuturkan RUU PPRT ini akan menjadi nilai tambah untuk buruh migran Indonesia sektor domestik mengingat selama ini tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja sebagai PRT di luar negeri seringkali mendapat tindak kekerasan dan ketidakadilan dalam bekerja. Meski demikian, Indonesia merasa kesulitan untuk menuntut perlindungan tersebut karena tidak adanya aturan yang menjamin keamanan para PRT di dalam negeri.
“Ketika kita ingin mengirimkan TKI ke luar negeri sebagai pekerja domestik, kan kita selalu menuntut untuk mereka diberi hak mulai A-Z. Tapi negara penerima akan bertanya, Anda punya tidak undang-undang yang juga memberikan hak-hak yang sama terhadap pekerja domestik. Itu menjadi pertanyaan tersendiri,” ungkap Eddy.
RUU PPRT sendiri telah lama dinanti banyak pihak. Baleg DPR berhasil menuntaskan pembahasan RUU PPRT itu setelah delapan belas tahun mangkrak di DPR. Rencananya RUU tersebut akan segera diparipurnakan untuk disahkan sebagai sebagai RUU inisiatif DPR dan selanjutnya baru akan dibahas antara DPR dan pemerintah. [fw/ah]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.