Ketika berbicara tentang Lukas Enembe, Ondofolo di kampung Hebeybhulu Yoka, Papua, Ismael Isack Assa Mebri menyebut dua hal. Pertama, mereka memberi apresiasi tinggi untuk Enembe sebagai gubernur yang telah berbuat banyak untuk tanah dan masyarakat Papua. Kedua, terkait kasus hukum yang membelitnya, mereka menyerahkan penanganan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dengan catatan proses itu dilakukan secara adil.
“Karena orang seperti Pak Lukas Enembe susah kita temukan di Papua ini. Hatinya besar untuk orang Papua, untuk tanah Papua, untuk masyarakatnya. Bapak membela, mengangkat harkat martabat orang Papua di kancah nasional maupun internasional, jadi mungkin karena itu hati orang Papua ini besar untuk membela, walaupun Bapak terjerat dengan kasus hukum,” ujarnya Ismael, yang juga Ketua Umum Dewan Presidium Pusat Masyarakat Adat Tabi, Papua, kepada VOA, Selasa (27/9).
Ismael menggambarkan posisi Enembe, sebagai ‘ondofolo’ atau pemimpin sukubagi masyarakat adat, dengan menyebut tujuh wilayah di Papua yang masing-masing memiliki budaya dan adat. Lukas Enembe sendiri berasal dari wilayah adat Lapago. Karena dianggap berbuat banyak bagi masyarakat, Enembe diangkat sebagai kepala suku besar untuk mengayomi seluruh masyarakat tujuh wilayah adat itu.
“Jadi, itu yang mungkin menjadi perhatian masyarakat Lapago, juga Papua. Karena apa yang Pak Lukas Enembe perbuat bagi masyarakat Papua, membela hak-hak mereka. Seperti itu yang bisa diangkat sebagai kepala suku besar, yang harus kita hormati, kita jaga, lindungi, mungkin seperti itu yang masyarakat lakukan, di luar dari urusan KPK,” tambahnya.
“Kalau di mata hukum semua orang sama, to? Jadi, kita menghormati hukum, kalau ada salah, kita serahkan ke hukum, keadilan yang betul-betul bisa ditegakkan. KPK harus adil kepada Pak Lukas Enembe, karena kita di Papua dipenuhi berbagai isu. Kalau betul-betul ke ranah hukum, ya kesitu. Jangan berkait dengan politik,” tegasnya.
Posisi Adat Kuat
Ribuan warga berdemonstrasi ke Markas Brimob Jayapura, ketika KPK bermaksud melakukan pemeriksaan pertama terhadap Enembe pada 12 September 2022 lalu. Setelah itu, mereka melakukan penjagaan di rumah Enembe, dan terus berlanjut hingga saat ini. Enembe juga tidak hadir dalam pemanggilan kedua oleh KPK, pada Senin (26/9).
KPK menyebut Enembe menerima gratifikasi Rp1 miliar, sedangkan pemerintah berulangkali menyebut angka fantastis dalam kasus Lukas Enembe, yakni Rp560 miliar setoran ke kasino. Selain itu, pemerintah mengklaim ada dana lebih Rp1.000 triliun yang digelontorkan ke Papua, melalui berbagai skema sepanjang era otonomi khusus. Pemerintah mempertanyakan pembangunan di Papua yang tersendat, sementara anggaran begitu besar mengalir.
Namun, angka-angka itu seolah tidak bermakna banyak banyak masyarakat Papua, yang hingga hari ini sebagian masih memandang Lukas Enembe sebagai pembela rakyat.
Posisi Enembe di mata adat, juga dikuatkan oleh Pendeta Zebu Miagoni, dari Sinode Gereja Kingmi di Tanah Papua, ketika diminta komentar terkait ini.
“Prinsip mereka, orang yang bisa melayani dengan bagus, anggaplah dia jadi kepala suku. Kalau orang Jayapura bilang itu ‘ondoafi.’ Makanya, kemarin KPK mau datang, ya mereka yang hadapi duluan, dan mereka mati dulu, baru mereka punya kepala suku itu mati belakang itu terserah. Itu prinsip mereka,” tegas pendeta Miagoni.
Masyarakat Papua, kata pendeta Miagoni, memiliki pengalaman terkait kasus mantan gubernur Barnabas Suebu, yang terjerat kasus korupsi tahun 2007. Pada 2015, pengadilan Tipikor Jakarta memvonis Suebu 4,5 tahun penjara. Di tingkat banding, hukumannya justru diperberat menjadi 8 tahun penjara pada 2016. Suebu baru bebas bersyarat pada Juli 2022. Masyarakat Papua meyakini Suebu tidak bersalah.
“Masyarakat Papua ini tidak yakin sama sekali dengan KPK. Yang pertama (dalam kasus Suebu-red), KPK ini tipu kita, Barnabas Suebu yang jujur saja akhirnya begitu. Terus yang ini (Lukas Enembe-red) yang sakit, juga mau ditangkap,” kata pendeta Miagoni.
“Kalau sehat, baru itu boleh-boleh saja. Kalau bisa, KPK sabar sedikit. Dia sakit, kalau sakitnya ini selesai, baru bisa hadapi. Kalau untuk korupsi dan lain-lain itu kan kalau ada bukti, silakan diperiksa ketika sehat,” tambahnya.
Peran Menkopolhukam Dipertanyakan
Samuel Awom, Kepala Pemerintahan Adat Dewan Adat Papua Wilayah III Doberay, mengakui kasus Enembe menambah rumit persoalan di Papua, seperti kasus mutilasi di Mimika dan persidangan kasus pelanggaran HAM berat Paniai yang sedang berlangsung. Ada pandangan, seolah-olah kasus Enembe dimunculkan, untuk mengalihkan perhatian rakyat Papua dari dua peristiwa itu. Di sisi lain, lanjut Samuel, Indonesia juga memiliki banyak kasus korupsi yang tidak tuntas.
“Ada gejolak di Papua yang kuat ketika, berbagai macam akumulasi kasus ini tidak diselesaikan, rakyat melihat bahwa proses kasus Enembe, yang saat ini ditetapkan sebagai tersangka, itu bagian dari kriminalisasi. Ini juga sesuatu yang agak rumit, melihat situasi di Papua hari ini,” ujarnya kepada VOA.
Semuel mengingatkan, masa jabatan Enembe tinggal satu tahun ke depan. Jika tidak ingin menimbulkan konflik di masyarakat, sebenarnya proses hukum bisa menunggu Enembe menyelesaikan tugasnya. Masyarakat Papua juga memiliki keraguan terkait gratifikasi Rp1 miliar yang dituduhkan. Juga perlu dicek secara detil terkait dana Rp560 miliar, yang disebut-sebut terkait Enembe.
“Apakah itu bagian dari hasil kekayaan Enembe atau tidak? Jadi, posisinya disitu. Yang penting jangan membuat rakyat Papua hari ini berkonflik,” ujar Samuel.
Ada juga perasaan tidak adil di hati masyarakat Papua, karena di era pemerintahan Joko Widodo ini ada banyak kasus korupsi yang tidak selesai tuntas, sementara Lukas Enembe dijadikan sasaran. Kemunculan Menkopolhukam Mahfud MD yang lebih sering dibanding KPK dalam kasus ini, dinilai membuat posisi KPK tidak independen.
“KPK sudah di bawah kontrol pemerintah. Bagaimana mungkin orang melihat pemerintahan Jokowi bersih, kalau KPK sudah dikontrol Menkopolhukam. Negara mempertontonkan kebijakan yang salah. KPK harus diberi ruang independen, melakukan penyidikan transparan, kemudian umumkan sendiri, jangan memakai Menkopulhukam,” tambahnya.
Rakyat yang pro Lukas Enembe, lanjut Samuel, tidak akan membiarkan proses hukum berjalan, dan kemungkinan besar, konflik akan naik. Samuel mengingatkan, jangan sampai ada pelanggaran HAM baru dalam proses ini ke depan.
Peran Mendagri Ditunggu
Akademisi Universitas Cenderawasih, Papua, Marinus Mesak Yaung melihat persoalan ini dalam sudut lebih luas.
“Salah satu akar persoalan adalah rasa ketidakpuasan dan ketidakpercayaan masyarakat Papua terhadap pemerintah pusat. Apapun keputusan pemerintah pusat akan selalu mendapat resistensi dari masyarakat Papua. Apalagi, keputusan yang menyentuh salah satu simbol kekuatan politik orang Papua, yaitu Gubernur Lukas Enembe ini,” paparnya kepada VOA.
Selain gubernur, Enembe adalah simbol politik dan perlawanan dan simbol orang Papua menuntut keadilan kepada negara. Karena itu, selain menyodorkan bukti-bukti, KPK perlu melakukan langkah persuasif, membangun komunikasi, khususnya terkait opsi penjemputan paksa.
“Saya cukup khawatir dengan opsi penjemputan paksa, walaupun ini sesuai dengan ketentuan KUHAP, tetapi resiko gangguan keamanannya, resiko konflik politiknya, itu besar sekali,” ujar Marinus mengingatkan.
Orang Papua menilai apa yang terjadi pada Enembe adalah kriminalisasi. Sekuat apapun bukti yang disodorkan KPK dan pemerintah pusat, anggapan itu tidak akan luntur. Agar tidak muncul kekerasan berdarah, Marinus menyarankan peran Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian.
“Usul saya, saran saya, Pak Tito ke Jayapura, ketemu dengan Pak Lukas, bicara baik-baik. Pak Lukas akan izinkan untuk diperiksa oleh KPK, itu saja saya pikir. Yang bisa menenangkan massa, cuma Pak Lukas Enembe. Karena beliau ini kan pemimpin politik, sekaligus pemimpin tradisional, atau big man itu,” tegasnya.
“Di republik ini, yang didengar Pak Lukas Enembe cuma Mendagri dan Pak Jokowi. Soal kesehatan beliau, yang menjadi alibi itu, KPK kan punya dokter yang bisa dipercaya dan diandalkan, yang akan memeriksa kesehatan Pak Lukas Enembe juga,” ujar lagi.
Marinus adalah satu dari sedikit intelektual Papua yang mencoba bersikap jernih dalam persoalan ini. Namun, dia mengaku mendapat serangan dan dianggap menyebar hoaks. Marinus meyakini, ketika KPK menetapkan seseorang sebagai tersangka, maka pasti sudah ada cukup bukti yang kuat secara hukum. Justru proses pemeriksaan diperkukan, untuk menjernihkan semua dugaan yang muncul saat ini. KPK jelas memiliki data, dan sudah memeriksa saksi dalam kasus ini.
“Tetapi, ini tidak diketahui oleh masyarakaat di Papua. Ataukah mereka sudah tahu, tetapi mereka pura-pura karena memang merasa tidak suka dengan Jakarta. Sudah merasa bahwa selalu saja Papua ini menjadi korban dalam semua kebijakan negara,” ujar Marinus.
Marinus mengingatkan, ada banyak bukti video, termasuk aktivitas Lukas Enembe di luar negeri. Barangkali, gubernur Papua itu sendiri tidak menyadari, bahwa sejak dijadikan target dalam kasus korupsi, gerak-geriknya sudah diawasi. KPK dan Menkopolhukam, lanjut Marinus, tidak mungkin mempertaruhkan kredibilitasnya, dengan menyebarkan data yang tidak valid. Apalagi, Papua adalah isu sensitif di dunia internasional. Jika data itu keliru, isu Papua merdeka bahkan akan berkembang liar.
“Karena itu, menurut saya, logika saya, ini bukan sesuatu yang bukan tanpa bukti kuat. KPK punya bukti yang kuat, dan mereka tahu, kalau mereka salah dalam menyampaikan data, ini masalah Papua bisa meledak. Saya yakin betul, saya percaya betul data mereka memang valid, dan akan dibuktikan di pengadilan,” tegasnya. [ns/ab]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.