Presiden Joko Widodo angkat bicara terkait dengan fenomena menjamurnya perusahaan rintisan atau startup di Indonesia. Ia menyatakan, masih banyak startup karya anak bangsa tersebut gagal berkembang.
“Hati-hati, 80 persen sampai 90 persen startup gagal saat merintis. Karena sekali lagi tidak melihat kebutuhan pasar yang ada. berangkatnya mestinya dari kebutuhan pasar yang ada itu apa,” ungkap Jokowi dalam acara BUMN Startup Day 2022, di ICE, BSD, Tangerang, Jawa Barat, Senin (26/9).
Selain itu, katanya, kekurangan dana turut menjadi penyebab berbagai startup gagal bertahan. Padahal, ujar Jokowi, banyak di antara mereka memiliki potensi yang cukup besar untuk berkembang. Sampai saat ini, ia melihat startup yang bergerak di bidang financial technology, memiliki porsi terbesar yakni mencapai 23 persen, kemudian diikuti dengan startup di bidang retail yang mencapai 14 persen.
Menurutnya, perlu ada keberagaman bidang dalam startup di Indonesia, termasuk di sektor pangan, mengingat krisis pangan ada di depan mata.
“Urusan pangan ke depan ini akan menjadi persoalan besar yang harus dipecahkan oleh teknologi dan itu adalah kesempatan. Itu adalah peluang, itu adalah opportunity. Dan (startup) agriculture hanya empat persen. Hati-hati ini ada kesempatan besar di situ, karena di dalam urusan pangan itu ada yang namanya urusan produksi, ada yang namanya urusan distribusi, ada yang namanya urusan pasar. Di sini ada peluangnya semuanya,” jelasnya.
Terkait masalah pendanaan, ia meminta BUMN ikut serta mendanai berbagai perusahaan rintisan tersebut agar bisa berkembang dengan pesat. “Ini nanti fungsinya venture capital, fungsinya BUMN agar ekosistem besar yang ingin kita bangun ini bisa saling sambung sehingga semuanya terdampingi dengan baik dan bisa tidak gagal untuk masuk ke pasar-pasar, ke peluang-peluang yang ada di negara kita,” tambahnya.
Mantan gubernur DKI Jakarta ini menekankan potensi perkembangan startup di Tanah Air akan sangat pesat mengingat perkembangan ekonomi digital Indonesia yang diprediksi akan menjadi yang tertinggi di Asia Tenggara dengan nilai Rp4.531 triliun pada tahun 2030.
“Artinya, peluangnya besar sekali. Dan ini adalah kesempatan bapak ibu dan saudara-saudara sekalian, terutama yang muda-muda. Karena juga pengguna internet di Indonesia ini sudah mencapai 77 persen. dan penggunaannya 8 jam, 36 menit setiap harinya coba. Besar sekali potensi yang ada. dan startup Indonesia ini tertinggi ke-6 di dunia. Pertama memang Amerika, India, UK, Kanada, Australia, Indonesia, nomor 6. Ini juga sebuah potensi yang besar yang harus kita kembangkan,” tegasnya.
BUMN Sudah Investasi di Ratusan Startup
Menteri BUMN Erick Thohir mengungkapkan pihaknya berkomitmen untuk selalu ikut serta dalam pengembangan perusahaan rintisan karya anak bangsa, terutama dalam hal pendanaan. Erick mengklaim, berbagai modal ventura pelat merah sudah berinvestasi kepada ratusan startup.
“Ada Mandiri Capital, BRI Ventura, Telkom, Telkomsel lalu terakhir BNI saya minta untuk membuat Venture Capital. Dan Venture Capital yang ada di BUMN ini sudah berinvestasi kepada 336 startup, yang mana kalau dilihat hari ini banyak juga yang sudah mulai menjadi Sunicorn atau Unicorn,” kata Erick.
Selain itu, kata Erick, pihaknya pun sudah membentuk Merah Putih Fund untuk membantu startup yang sedang berkembang menjadi startup dengan nilai valuasi yang cukup besar seperti unicorn.
“Kita masuk ke investasi di situ, tetapi dengan catatan founder-nya orang Indonesia, perusahaannya harus beroperasi di Indonesia, dan bayar pajak di Indonesia, dan bisa diprioritaskan untuk go public di Indonesia, tentu ini seiring dengan konsep Bapak juga pembangunan Ibu Kota baru, di mana Ibu Kota baru ini akan friendly kepada investasi fintech. Ini yang coba kita rajut,” tambahnya.
Rencana Bisnis Tidak Jelas
Sementara itu, pengamat ekonomi digital dari Institut for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengungkapkan faktor utama gagalnya startup untuk berkembang adalah tidak adanya rencana bisnis yang jelas, sehingga menjadikan para investor enggan untuk menanamkan modalnya.
“Jadi sebenarnya, tidak juga menjawab soal kebutuhan, tapi di startup ini, dia tidak mempunyai nilai tambah bagi investor. Jadi investor akhirnya tidak ingin mendanai startup tersebut, dan sebenarnya investor ini butuh kepastian, tahun berapa startup ini akan mulai untung. Kebanyakan startup-startup di Indonesia kesulitan untuk menjelaskan akan untung di tahun berapa, itu lah yang masih menjadi persoalan,” ungkap Nailul kepada VOA.
Ia menjelaskan, memang tidak bisa dipungkiri bahwa semua perusahaan rintisan pada awalnya menerapkan konsep “bakar uang”, karena menggunakan modal awal sendiri. Namun, menurutnya, para startup tersebut seharusnya memiliki konsep dan target yang jelas, termasuk kapan perusahaan mereka akan bisa memiliki keuntungan, sehingga strategi “bakar uang” tersebut perlahan tetapi pasti akan mulai ditinggalkan.
“Ada beberapa syarat yang bisa membuat dia (startup) memetik keuntungan, apa sih? Kebanyakan mereka yang bergerak di sektor riil dan dia gak cuma bakar uang. Misalnya ada startup yang mendidik petambak, membantu petambak untuk bisa ekspor, dan sebagainya. Itu sudah bisa menjadi nilai tambah bagi mereka, dan memang baru sedikit yang sudah mendapatkan keuntungan, sementara sisanya masih merugi,” pungkasnya. [gi/ab]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.