Wakil Presiden AS Kamala Harris bertemu dengan Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida pada hari Senin (26/9) tak lama setelah tiba di Tokyo untuk menghadiri pemakaman kenegaraan pendahulu Kishida, Shinzo Abe.
Abe, yang dibunuh pada bulan Juli, akan diberi penghormatan khusus pada hari Selasa (27/9), dan Harris memimpin delegasi AS untuk menyampaikan penghormatan itu.
“Aliansi antara Jepang dan Amerika Serikat adalah fondasi dari apa yang kami yakini sebagai bagian integral dari perdamaian, stabilitas dan kemakmuran di kawasan Indo-Pasifik,” katanya di Istana Akasaka.
Kishida mengatakan Abe “mencurahkan hati dan jiwanya” untuk memperkuat hubungan antara kedua negara itu. ”Saya merasa tugas sayalah untuk meneruskan aspirasinya,” kata Kishida.
Abe menjalin hubungan yang lebih erat dengan Amerika Serikat pada saat kekhawatiran yang meningkat tentang ambisi China, sementara Kishida menyerukan pembangunan pertahanan nasional yang lebih kuat.
Potensi perang terkait Taiwan, sebuah pulau berpemerintahan sendiri yang diklaim China sebagai bagian dari wilayahnya sendiri, telah merisaukan Jepang, yang kemungkinan akan terseret ke dalam konflik itu.
Presiden Joe Biden baru-baru ini mengatakan bahwa AS akan mengirim pasukannya sendiri untuk membela Taiwan jika China menyerang. “Presiden telah membahas masalah itu. Dan jika topik itu mencuat, wakil presiden akan sependapat dengan presiden,” kata seorang pejabat senior pemerintah, yang meminta namanya tidak disebutkan. Pejabat itu juga mengatakan Harris akan menjelaskan komitmen kuat AS terhadap keamanan Jepang. Lebih dari 50.000 tentara AS berpangkalan di sana.
Harris, yang dijadwalkan akan menghabiskan tiga malam di Tokyo, berkunjung pada saat situasi politik di Jepang memanas.
Keputusan Kishida untuk mengadakan pemakaman kenegaraan untuk Abe, seorang nasionalis konservatif, telah menjadi kontroversi di negara di mana peringatan semacam itu tidak umum, dan beberapa menentang untuk menghormatinya dengan cara ini.
Kishida juga mengupayakan ekspansi dramatis belanja pertahanan yang akan memberi Jepang anggaran militer terbesar ketiga di dunia pada tahun-tahun mendatang, setelah Amerika Serikat dan China. Sebuah strategi keamanan nasional baru, yang pertama dalam hampir satu dekade, kini juga sedang digarap.
Perdebatan itu kembali muncul ketika Jepang mengevaluasi kembali risiko perang setelah terjadinya invasi Rusia ke Ukraina, kata Christopher Johnstone, seorang pakar dari Pusat Kajian Strategis dan Internasional.
Pertempuran di Ukraina seolah pengingat bahwa “konflik sangat mungkin terjadi,” katanya, dan “Jepang tinggal di lingkungan yang cukup sulit.”
Jepang sedang meningkatkan kualitas pertahanan misilnya dan mempertimbangkan untuk menggunakannya untuk serangan pencegahan, sebuah langkah yang menurut para kritikus akan secara mendasar mengubah kebijakan pertahanan negara dan melanggar konstitusi pasifis pascaperang yang membatasi penggunaan kekuatan untuk membela diri. [ab/uh]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.