Kasus kekerasan seksual makin sering terjadi di lingkungan pendidikan, khususnya yang memiliki fasilitas asrama. Mayoritas kasus tidak dilaporkan karena sejumlah kendala.
Sebagai konselor, Sylvi Dewajani, kenyang dengan pengalaman menangani kasus kekerasan terhadap anak, khususnya kekerasan seksual. Belakangan ini, dia mencatat ada sejumlah kasus kekerasan seksual yang masuk ke lembaga konsultasinya, berasal dari sekolah berasrama. Sylvi, yang juga Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) DI Yogyakarta bahkan merasa perl menjadikan program pencegahan kekerasan seksual di lingkungan asrama sekolah sebagai prioritas.
“Kita, di KPAI Daerah, tahun depan 2023 mau memfokuskan pada boarding school, tidak hanya pesantren saya kira, semua boarding school itu kasus kekerasan seksualnya sangat tinggi. Sehingga perlunya ada model akreditasi untuk sekolah boarding tersebut,” ujarnya, ketika berbicara dalam diskusi Pencegahan dan Penindakan Pelecehan Seksual Terhadap Anak di Lingkungan Pendidikan, yang diselenggarakan Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sabtu (24/9).
Selama ini akreditasi dilakukan untuk sekolah. Sylvi memandang langkah yang sama juga juga perlu dilakukan untuk asrama karena bukan hanya menyangkut kegiatan pendidikan, tetapi juga pengasuhan. Asrama masuk sebagai pengasuhan alternatif sebagai pengganti keluarga.
Sylvi baru saja selesai menangani satu kasus di mana seorang siswi menjadi korban kekerasan seksual di lembaga pendidikan berasrama.
“Ini nyata, yang saya tangani adalah anak ini disetubuhi oleh teman satu kamarnya, kakak kelas yang satu kamar begitu. Itu dari bulan Januari sampai dia keluar, lalu masuk ke saya itu April, sudah 18 kali dilakukan persetubuhan. Putri sama putri,” kata dia.
Anak tersebut mengalami depresi berat, kata Sylvi, dan setelah penanganan beberapa bulan kondisinya membaik, dan berpindah sekolah.
Biro konsultasi yang dikelola Sylvi, pada periode Januari sampai September ini menangani delapan korban kasus kekerasan, di salah satu lembaga pendidikan berasrama. Dua di antaranya adalah korban kasus kekerasan seksual berupa persetubuhan sesama jenis.
Sylvi juga menangani kasus pelecehan seksual di Taman Kanak-Kanak, di mana seorang anak laki-laki berusia 5,5 tahun meminta temannya melakukan sebuah aktivitas seksual terhadap dirinya.
“Ini sama-sama korban. Walaupun dia pelaku, dia adalah korban dari keluarganya. Saya punya keyakinan bahwa dia sudah pernah diminta melakukan atau melihat, bisa melihat langsung, bisa melihat di video. Ini kita tangani di awal tahun 2022, di sebuah TK. Orang tuanya dua-dua pedagang, sibuk, tidak sempat interaksi dengan anak optimal,” lanjut Sylvi.
Sylvi mencatat prevalensi kasus kekerasan anak biasanya adalah sentuhan tanpa izin, percobaan hubungan seksual, dan hubungan seksual dengan paksaan secara fisik. Relasi kuasa juga berperan karena biasanya hubungan seksual terjadi karena otoritas pelaku terhadap korban tinggi.
Ciri-ciri korban secara umum, menurut pengalaman Sylvi, adalah biasanya tidak percaya diri dan dependen. Kadang-kadang, korban menjadi pribadi yang ekstrem, baik ekstrem penyendiri maupun ekstrem sangat atraktif. Pada fase tertentu, korban juga tidak lagi merasa menjadi korban, karena adiktif.
Sedangkan ciri pelaku, biasanya adalah orang yang dekat korban, mempunyai relasi kuasa atau otorisasi terhadap korban, dan kadang orang yang dikagumi korban. Pelaku juga memikat, gampang disukai, mempunyai kepribadian suka mengancam dan posesif.
Data Kekerasan Seksual
Data Sinfoni PPA nasional mencatat kasus kekeraan terhadap anak periode Januari-Saptember 2022 mencapai 11.060 kasus, dengan rentang usia korban paling banyak adalah 13-17 tahun, atau pada anak usia SMP dan SMA. Dari jumlah itu, kasus kekerasan seksual mencapai 7.502, yang menjadi ironi setelah pengesahan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Data juga mencatat, ada 407 kasus yang pelakunya adalah guru.
Di Daerah Istimewa Yogyakarta pada periode yang sama ada 934 laporan kasus kekerasan, dengan rincian kekeraan psikis 475 kasus, seksual 317 kasus, dan fisik 236 kasus. Ada 426 laporan kasus menempatkan anak sebagai korban, juga dengan rentang usia anak SMP dan SMA menjadi mayoritas. Jika dipersentasekan, DIY termasuk daerah dengan tingkat kekerasan anak tinggi, yaitu 4,5 persen.
Sementara secara nasional, data kepolisian mencatat data Januari-Mei 2022, polisi menangani 2.071 perkara persetubuhan dan pencabulan anak.
Kasus Cenderung Ditutupi
Pakar hukum sekaligus dosen di Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sri Wiyanti Eddyono Ph.D mengaku punya banyak pengalaman selama berinteraksi dengan pendamping kasus anak.
“Ya, memang pada umumnya kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak, dalam dunia pendidikan, itu seolah-olah memang ditutup-tutupi. Baik oleh pihak sekolah, ataupun orang tua, karena permintaan sekolah. Ataupun karena takut, malu, berhadapan dengan pihak yang sangat tinggi posisinya, misalnya pesantren,” ujarnya.
Sri Wiyanti juga mencatat seringnya ada ancaman terhadap korban dan keluarganya. Ancaman itu seperti, jika mengungkap kasusnya, maka korban tidak bisa belajar di tempat lama, tetapi sekaligus tidak diberi rekomendasi untuk pindah ke tempat baru. Ancaman juga diberikan terhadap pendamping kasus. Pihak yang mengancam biasanya bukan pelaku, tetapi keluarga pelaku atau lingkaran pelaku.
“Jadi itu yang saya pikir, ada problem yang sangat besar di dunia pendidikan, karena ada proses pengabaian kekerasan, toleransi terhadap kekerasan, dan ditambah lagi ini ada budaya yang merendahkan anak,” tambahnya.
Budaya merendahkan anak terwujud ketika orang dewasa menganggap pengalaman anak tidak penting, pandangannya tidak penting dan tidak mempercayai apa yang dialami oleh anak.
“Nah, seolah-olah kemudian dunia pendidikan ini imun, tidak terjamah dan tidak tersentuh,” tegas Sri Wiyanti.
Saat ini, Indonesia sudah memiliki politik hukum yang sangat jelas terkait kekerasan seksual terhadap anak, misalnya dengan penyediaan kebijakan-kebijakan. Sebagai pakar hukum, Sri Wiyanti mendorong pemakaian UU TPKS dalam kasus kekerasan seksual. Untuk kasus yang terjadi sebelum undang-undang itu disahkan, pidananya menggunakan aturan lama, tetapi hukum acaranya dapat menggunakan UU TPKS.
Hukum Belum Efektif
Hakim sekaligus Kepala Pengadilan Negeri Yogyakarta, Muh Jauhar Setyadi setuju bahwa formulasi ketentuan pidana dalam undang-undang di Indonesia, tepat dan lengkap.
“Namun belum serta merta dapat efektif memberikan perlindungan kepada anak dalam perkara tindak pidana kekerasan seksual, maupun menimbulkan efek jera, baik kepada pelaku maupun calon pelaku,” tegas Jauhar.
Calon pelaku di mata hukum adalah setiap orang. Jauhar beralasan, setiap orang memiliki potensi melakukan tindak kekerasan seksual.
Jauhar menilai, upaya perlindungan anak dari tindak pidana kekerasan seksual dan efek jera terhadap pelaku baru efektif jika penegakan hukum, baik aparat penegak hukum maupun lembaganya, memiliki pemahaman yang memadai dan komprehensif terkait perlindungan anak dan tindak pidana kekerasan seksual.
“Yang harus dijalankan konsisten, konsekuen dan tegas, serta terkoordinasi dalam integrated criminal justice system,” imbuhnya.
Jauhar juga menyebut, penciptaan kondisi yang mencegah tindak kekerasan seksual penting dilakukan.
“Saya menyidangkan, baik itu pelakunya guru ngaji, kepala sekolah, tukang pijat, polanya sebenarnya sama, ketika ada kesempatan berduaan,” ujarnya.
Dalam kasus itu, guru ngaji mengajar di dalam kamar khusus, tukang pijat beraksi di kamar tertutup, dan begitu juga dengan kepala sekolah.
Jauhar juga mengusulkan ada penentuan pola penjatuhan pidana TPKS, sehingga hakim tidak bebas menafsirkan dan menjatuhkan hukuman. Pada kelompok kasus tertentu, dapat ditetapkan minimal hukuman, seperti yang diterapkan dalam kasus korupsi.
Selain itu, Jauhar memandang penting akreditasi lembaga pendidikan dan lembaga pendidikan berasrama terkait upaya mencegah kekerasan seksual. Dia juga menyarankan, pemasangan CCTV di lembaga pendidikan berasrama secara masif. [ns/ah]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.