Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) sedang berkoordinasi dengan Agensi Penguatkuasaan Maritim Malaysia (APMM) untuk meminta akses kekonsuleran agar dapat segera bertemu dengan empat warga negara Indonesia (WNI) yang sempat terdampar di Malaysia. Keempat orang tersebut bedada selama empat hari di Pulau Che Mat Zin, Negara Bagian Selangor, Malaysia.
Direktur Perlidungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha kepada VOA, Sabtu (24/9), menjelaskan setelah mendalami informasi tersebut, pihaknya memastikan keempat warga Indonesia itu tinggal di Malaysia tanpa dokumen atau ilegal.
Menurut Judha, mereka ingin pulang ke Indonesia, tetapi karena tidak berdokumen, maka mereka menggunakan jasa calo untuk bisa mengantar kembali ke Tanah Air. Keempat WNI yang belum diketahui asalnya itu akhirnya dijanjikan oleh calo tersebut akan dipulangkan menggunakan kapal dari Pulau Che Mat Zin. Mereka menunggu di pulau itu selama empat hari, tetapi sang calo tak kunjung datang.
Karena sudah habis perbekalan, lanjutnya, keempat WNI itu nekat berenang dari Pulau Che Mat Zin ke Pulau Ketam. Ketika berenang itulah, mereka ditemukan oleh sebuah kapal dan kemudian keempatnya diserahkan ke kepolisian maritim Selangor. Saat ini mereka sedang menjalani proses penyelidikan terkait kasus keimigrasian atau masuk masuk ke Malaysia secara ilegal.
“Dari Pulau Che Mat Zin ke Pulau Ketam, wilayah Selangor yang berdekatan. Pada saat mereka berenang itulah kemudian mereka ditemukan oleh satu boat. Kemudian pemilik boat tersebut melaporkan ke Police Marine Selangor kemudian dibawa dan dilakukan pendalaman,” ungkap Judha.
Ia menambahkan kondisi empat WNI itu relatif baik. Pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Ibu Kota Kuala Lumpur sedang meminta akses kekonsuleran untuk bertemu mereka dan melakukan pendampingan hukum.
Karena pihak KBRI Kuala Lumpur belum bertemu keempatnya, dia mengakui belum mendapat informasi rinci mengenai mereka, termasuk data pribadi, serta bagaimana mereka bisa tiba di Malaysia secara ilegal dan sejak kapan.
“Saat ini kita sedang meminta akses kekonsuleran untuk bisa bertemu dengan mereka dan melakukan pendampingan hukum, “ tambah Judha.
Menurut seorang sumber VOA, kasus semacam itu banyak terjadi. Warga Indonesia yang tidak berdokumen resmi ingin pulang ke Indonesia menggunakan jasa penyelundup. Tarifnya lima tahun lalu sekitar 700 ringgit.
Untuk menekan perlintasan ilegal seminimal mungkin, menurut Judha, pemerintah mengawasi perbatasan-perbatasan dengan negara lain secara ketat. Perlintasan ilegal laut terbesar melalui Selat Malaka, antara Kepulauan Riau dengan Johor dan Sumaera Utara dengan Selangor, dan lewat Nunukan, Kalimantan Utara. Sedangkan perlintasan ilegal jalur darat di Kalimantan Barat ke arah Sabah dan Serawak.
Selain itu, pemerintah melakukan sosialisasi dan edukasi mengenai prosedur resmi untuk bekerja di luar negeri dan hukum yang berlaku di negara- tujuan.
Seperti dilansir the Star pada Rabu lalu, Direktur Badan Penegakan maritim untuk wilayah Selangor Kapten Siva Kumar Vengadasalam keempat WNI itu berumur antara 26-43 tahun. Mereka tidak berdokumen dan ingin meninggalkan Malaysia secara tidak sah.
Nurismi Ramadani dari Koalisi Buruh Migran Berdaulat mengatakan pemerintah perlu membenahi sistem yang ada di perbatasan ini, di antaranya dengan memperbanyak pintu masuk resmi dari Indonesia ke Malaysia begitu juga sebaliknya. Hal ini juga salah satu cara untuk mencegah warga Indonesia masuk ke Malaysia secara ilegal.
“Poin resminya diperbanyak, apalagi diperbatasan dikenal dengan banyak jalur-jalur alternatif. Nah itu yang harus diperbaiki, dibenahi, dipikirkan oleh negara agar mencegah orang menjadi ilegal jadi harus benar-benar dibenahi pintu masuk dan keluarnya,” kata Nurismi. [fw/ah]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.