Departemen Keuangan AS mengumumkan sanksi baru terhadap tujuh pejabat keamanan dan kepolisian moral Iran hari Kamis (22/9) karena dituduh melanggar hak-hak perempuan, aktivis masyarakat sipil dan pengunjuk rasa damai.
Sanksi baru itu menarget Kepala Kepolisian Moral Iran Mohammad Rostami Cheshmeh Gachi dan Direktur Kepolisian Moral Iran wilayah Tehran Haj Ahmad Mirzaei. Mirzaei dilaporkan telah dicopot sementara dari jabatannya menyusul unjuk rasa atas kematian seorang perempuan muda Iran bernama Mahsa Amini saat berada dalam tahanan pasukannya.
Amini, 22 tahun, dinyatakan meninggal dunia di rumah sakit pada 16 September lalu setelah ditahan selama tiga malam di pusat detensi moral Tehran, di mana ia diduga disiksa karena tidak mengenakan jilbab dengan benar.
Sanksi AS juga menarget Menteri Intelijen Iran Esmail Khatib, Wakil Komandan Pasukan Basij Salar Abnoush, Wakil Komandan Pasukan Penegakan Hukum (LEF) Qasem Rezaei, Komandan Provinsi LEF Manouchehr Amanollahi dan Komandan Pasukan Darat Tentara Iran Kiyumars Heidari.
“Para pejabat ini mengawasi organisasi yang secara rutin menggunakan kekerasan untuk menekan pengunjuk rasa damai dan anggota masyarakat sipil Iran, pembangkang politik, aktivis hak-hak perempuan dan anggota komunitas Baha’I Iran,” kata Departemen Keuangan dalam sebuah pernyataan hari Kamis (22/9).
Di bawah sanksi itu, semua properti dan aset mereka yang ada di AS akan diblokir dan setiap transaksi keuangan dengan mereka, baik di AS maupun di luar negeri, dilarang.
“Tujuan akhir dari sanksi itu bukan untuk menghukum, tapi untuk membawa perubahan positif dalam perilaku [mereka],” tambah pernyataan Kementerian Keuangan AS.
Puluhan pejabat, entitas dan individu Iran lainnya sudah dikenai sanksi AS untuk berbagai alasan, dari dugaan dukungan bagi terorisme, senjata nuklir hingga pelanggaran HAM.
Unjuk Rasa Meluas
Kematian Amini telah memicu unjuk rasa secara meluas di seluruh Iran dan di beberapa kota di seluruh dunia.
Beberapa pengunjuk rasa dilaporkan tewas di Iran dalam beberapa hari terakhir, sementara puluhan aktivis hak-hak perempuan telah ditangkap.
Sambil meneriakkan slogan seperti “jatuhkan kediktatoran” dan “kebebasan bagi perempuan,” beberapa pengunjuk rasa tampak melepaskan kerudung mereka sebagai aksi menentang undang-undang wajib berjilbab di Iran.
Para pejabat Iran telah menyebut para pengunjuk rasa sebagai “pemberontak” dan didukung oleh “musuh-musuh Iran,” sebuah referensi diam-diam ke AS dan Israel yang berselisih dengan pemerintah Iran dalam hal keamanan dan masalah nuklir.
“Pemerintah Iran harus menghentikan persekusi sistemiknya terhadap perempuan dan mengizinkan unjuk rasa damai,” kata Menteri Luar Negeri AS Anthony Blinken dalam sebuah pernyataan hari Kamis. “Amerika Serikat akan terus menyuarakan dukungan kami bagi hak asasi manusia di Iran dan menuntut pertanggungjawaban mereka yang melanggarnya.”
Unjuk rasa serupa juga sempat terjadi. Tahun 2019, ribuan warga Iran mogok massal di seluruh negeri untuk memprotes kesulitan ekonomi yang mereka hadapi dan menuntut kemerdekaan sosial dan politik yang lebih besar. [rd/jm]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.