80% Nikel Untuk Bahan Baku Produksi Batere Mobil Listrik Telah Terpenuhi

80% Nikel Untuk Bahan Baku Produksi Batere Mobil Listrik Telah Terpenuhi

Presiden Joko Widodo baru-baru ini menginstruksikan agar semua badan usaha milik negara (BUMN) menggunakan mobil listrik. Kebijakan ini merupakan salah satu upaya untuk mengurangi konsumsi bahan bakar minyak (BBM) dan menciptakan transportasi ramah lingkungan.

Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hari Senin (19/9), Direktur Hubungan Kelembagaan MIND ID Dany Amrul Ichdan mengatakan selama ini Indonesia Battery Corporation (IBC) yang berada di bawah kendalinya, telah mengintegrasikan kendaraan bertenaga listrik, dengan memperkuat ekosistem kendaraan bertenaga listrik dan mengurangi ketergantungan pada impor.

“Kita tahu bersama 80 persen dari bahan baku baterai ini (kendaraan bertenaga listrik) didukung oleh nikel dan nikel ini dimiliki oleh PT Antam (Aneka Tambang). Cadangannya juga cukup banyak. IBC ini ditargetkan menjadi pemimpin pasar di Asia Tenggara,” kata Dany.

Di samping bahan baku nikel yang mendominasi 80 persen produksi baterai kendaraan listrik, lanjut Dany, juga ada fabrikasi lain. Salah satunya yang terbesar adalah lithium hidroksida. Indonesia membutuhkan sekitar 70 ribu ton per tahun, dan selama ini diimpor dari China, Cile, dan Australia. Proses pengolahan lithium untuk baterai mobil listrik juga terdapat di China.

Dibutuhkan pula grafit hingga 44 ribu ton per tahun, yang diimpor dari China, Brazil dan Mozambik. Juga mangan sulfit dan belerang sulfit, masing-masing kebutuhannya mencapai 12 ribu ton per tahun dan masih diimpor.

Oleh karena itu, menurut Dany, pemerintah perlu menyusun peta jalan agar bisa mandiri dan tidak bergantung pada 20 produk impor semacam itu untuk memenuhi kebutuhan produksi baterai mobil listrik. Dia menambahkan saat ini IBC sedang menyusun peta jalan tersebut, termasuk apakah perlu mengakuisisi tambang lithium di luar negeri, sehingga ketergantungan impor bisa dikurangi dan nantinya IBC bisa menjadi perusahaan investasi.

MIND ID adalah BUMN yang memayungi industri pertambangan Indonesia yang beranggotakan PT ANTAM Tbk, PT Bukit Asam Tbk, PT Freeport Indonesia, PT Inalum (Persero) dan PT Timah Tbk.

PT Antam dan IBC Teken Kerangka Kerjasama

Dalam rapat tersebut, Direktur Utama PT Aneka Tambang (Antam) Nicolas D. Kanter mengatakan bijih nikel yang ada di Indonesia terdiri dari dua kelas, 1 dan 2. Bijih nikel kelas 1 ini merupakan bahan baku untuk memproduksi stainless steel dan baterai mobil listrik.

Menurutnya PT Antam dan IBC sudah menandatangani perjanjian kerangka kerja dengan CBL dan LGES. CBL adalah perusahaan penghasil baterai mobil listrik terbesar di dunia, sementara LGES adalah produsen baterai mobil listrik nomor dua terbesar di dunia. CBL menguasai pasar di Cina, sedangkan LGES mendominasi pasar di Amerika dan Eropa.

Menurut Nicolas, untuk memproduksi nikel bagi kebutuhan baterai mobil listrik, PT Antam bulan lalu melakukan pemisahan unit usaha (spin off) di bidang nikel kepada dua anak usaha PT Antam yang terletak di Halmahera Timur, Maluku, yakni PT Sumberdaya Arindo (SDA), dan PT Nusa Karya Arindo (NKA).

“Kita memang, Antam hanya menyuplai untuk bijih nikelnya karena ini adalah bahan baku utama (untuk memproduksi baterai mobil listrik). Inilah yang akan kita lakukan di dalam kerjasama kita baik dengan CBL maupun dengan LG,” ujar Nicolas.

Direktur Utama IBC Toto Nugroho memperkirakan hingga 2035 akan terjadi peningkatan penggunaan mobil listrik di dunia. Kenaikkannya 15-20 persen setiap tahun. Tahun ini, hampir lima juta mobil listrik dijual di seluruh dunia dengan tiga konsumen utama di Amerika Serikat, Eropa, dan Cina.

Tren pemakaian mobil listrik terus berkembang karena aspek ramah lingkungan dan transisi energi.

“Proyeksi kita di 2035 penggunaan baterai mendekati hampir 60 gigawatt hour atau ekuivalen dengan 500-600 ribu mobil listrik (di Indonesia) per tahun dan untuk motor listrik bisa hampir empat juta motor listrik per tahun,” tutur Toto.

Toto menambahkan untuk membangun infrastruktur produksi baterai mobil listrik dibutuhkan waktu 3-4 tahun. Dia yakin Indonesia sudah bisa memproduksi sendiri baterai mobil listrik secara massal untuk kebutuhan domestik dan ekspor selambat-lambanya pada tahun 2025 atau 2026.. Targetnya pada tahun 2030 Indonesia sudah menguasai teknologi produksi baterai.

Menurut Toto, IBC dan Antam memberikan jaminan pasokan nikel untuk bahan baku produksi baterai mobil listrik terhadap dua mitranya, CBL dan LG, sehingga produksi hingga sel baterai mobil listrik semuanya di Indonesia.

Anggota DPR Bambang Pattijaya : “Ini Mimpi-Mimpi Saja”

Bambang Patijaya, anggota Komisi VII dari Fraksi Partai Golongan Karya, menilai apa yang disampaikan Direktur Hubungan Kelembagaan MIND ID Dany Amrul Ichdan, Direktur Utama PT Aneka Tambang (Antam) Nicolas D. Kanter, dan Direktur Utama IBC Toto Nugroho seperti mimpi-mimpi saja. Alasannya, masih ada hal-hal yang bersifat prinsip yang belum rampung, termasuk soal penerbitan izin usaha pertambangan.

Mengutip penjelasan Toto Nugroho, dia mengatakan izin operasi dan eksplorasi di lingkungan hutan juga belum selesai. Infrastruktur juga belum rampung.

80% Nikel Untuk Bahan Baku Produksi Batere Mobil Listrik Telah Terpenuhi

Karyawan bekerja di pabrik peleburan feronikel milik perusahaan tambang Aneka Tambang Tbk di Kabupaten Pomala, Provinsi Sulawesi Tenggara, 30 Maret 2011. (REUTERS/Yusuf Ahmad)

“Kemarin waktu saya di Komisi V, saya berkunjung ke Kawasan Industri Batang (Jawa Tengah), itu belum ada apa-apanya. Lahan aja baru digarap, baru ada tower untuk pekerja. Di sini Bapak menyampaikan di 2024 sudah ada target produksi kurang lebih 10 gigawatt hour (GWH),” kata Bambang.

Ramson Siagian dari Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya mengingatkan kepada pimpinan MINE ID, PT Antam, dan IBC untuk tidak keliru mengeluarkan data-data yang nantinya akan masuk ke Presiden Joko Widodo karena akan berdampak pada kebijakan yang dikeluarkan.

Dia menyindir soal bagaimana dapat membangun industri baterai untuk mobil listrik jika masih bergantung pada produk impor. Ramson Siagian menyarankan agar ada prioritas kebijakan dan strategi yang mendukung. [fw/em]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *