Ketika masih menjadi seorang anak yang besar di Nigeria, ayah Timie Ogunmola acap kali menunjukkan foto-foto hitam putih yang menggambarkan perjalanannya ke London pada 1953 untuk menghadiri penobatan Ratu Elizabeth. Kehadiran sang ayah di acara bersejarah itu tak lain karena ia merupakan salah seorang pejabat di negara yang berada di bawah pemerintahan kolonial Inggris.
Kini sebagai seorang warga Edinburgh yang berusia 60-an, Ogunmola termasuk di antara ribuan pelayat yang memberikan penghormatan terakhir kepada jenazah sang Ratu yang disemayamkan di katedral kota tersebut pada minggu lalu. Ia bersemangat untuk memberi penghormatan terakhir kepada seorang ratu yang telah menjadi pelengkap dalam hidupnya.
“Kami dari negara Persemakmuran, beliau adalah Ratu Persemakmuran bagi kami,” kata Ogunmola dengan emosional, tak lama setelah keluar dari katedral. “Kami tumbuh dengan melihatnya.”
Ratu Elizabeth II adalah pemimpin kerajaan Inggris ke-40 di sejak Raja Norman William Sang Penakluk dinobatkan sebagai raja dalam monarki tersebut. Ratu telah memerintah Inggris selama 70 tahun, tujuh bulan dan dua hari, dan masa kepemimpinannya merupakan periode terlama dalam sejarah negara itu. Selama waktu tersebut pula, dia telah menyetujui lebih dari 4.000 Undang-Undang Parlemen.
Persemakmuran sendiri saat ini terdiri dari 56 negara. Dalam situs informasi tentang Persemakmuran, negara-negara anggota Persemakmuran menyebut dirinya sebagai asosiasi politik negara tertua di dunia. Hal tersebut bermula ketika monarki Inggris menguasai sejumlah negara di dunia.
Sejak 1949 negara-negara yang merdeka dari wilayah Afrika, Amerika, Asia, Eropa dan Pasifik bergabung dengan Persemakmuran. Keanggotaannya saat ini berdasarkan pada kerja sama sukarela yang bebas dan setara.
Keberadaaan Persemakmuran sangat berarti bagi mendiang Ratu, yang sering melakukan banyak kunjungan ke negara-negara anggota dan menjalin hubungan persahabatan dengan para pemimpin mereka.
Dedikasi dan umur panjang Elizabeth membuat banyak warga negara Persemakmuran, seperti Ogunmola, tumbuh besar dengan melihatnya dan merasakan kehangatan yang tulus, yang memberi arti bagi organisasi tersebut. Kehadiran Ratu di acara-acara Persemakmuran juga berhasil menyedot perhatian para kepala negara dan pemerintahan, serta memberikan pengaruh diplomatik.
Kini, setelah Ratu mangkat, tongkat estafet kerajaan diserahkan kepada putranya, Raja Charles, seperti yang dia harapkan dan seperti yang disepakati oleh para pemimpin Persemakmuran pada 2018. Namun untuk melangkah dan meraih hati para anggota Persemakmuran yang Ratu lakukan tidak akan mudah bagi raja baru, yang notabene dianggap kurang popular dibanding ibunya.
Beberapa menteri dari negara di wilayah Karibia mempertanyakan mengapa Charles harus menggantikan Ratu Elizabeth sebagai kepala Persemakmuran. Mereka menggarisbawahi bahwa raja Inggris tidak secara serta merta menjadi pemimpinnya. Dan jika terjadi, mereka beranggapan bahwa hal itu berbau kolonial sebagaimana terjadi di era kekaisaran. Pada saat itu negara-negara koloni Inggris diharapkan menyatakan kesetiaannya terhadap satu raja ke raja berikutnya.
Beberapa pengamat menilai, pertanyaan tentang warisan kolonial yang diperdebatkan dengan hangat di Karibia dan di beberapa bagian masyarakat Inggris lainnya merupakan ketegangan mendasar yang banyak terjadi di negara-negara Persemakmuran.
“Ya, Ratu adalah simbol yang kuat,” kata Nicole Aljoe, seorang profesor Studi Bahasa Inggris dan Afrika di Universitas Northeastern di Boston di Amerika Serikat.
“Beliau juga simbol yang kuat tidak hanya dari hal-hal baik, tetapi juga hal-hal buruk yang disebabkan oleh Kerajaan (Inggris),” kata Aljoe, yang lahir di Jamaika.
Beberapa suara di Persemakmuran menyerukan untuk mempertimbangkan kembali sejarah tersebut. Charles sendiri sebelumnya tampil cukup mengejutkan dengan mengangkat soal perbudakan pada pertemuan puncak kepala negara dan pemerintahan terbarunya di Rwanda pada Juni 2022.
“Saya ingin mengakui bahwa akar dari asosiasi kontemporer yang kita miliki saat ini berasal dari dalam periode paling menyakitkan dalam sejarah kita,” katanya. Ia mengungkapkan kesedihannya secara personal atas luka yang disebabkan oleh perbudakan.
Kesehatan yang Kuat
Charles mengatakan waktunya telah tiba bagi Persemakmuran untuk berbicara tentang perbudakan. Namun, baik dia maupun orang lain, tidak menjelaskan bagaimana masalah tersebut akan berhasil, apa yang ingin dicapai dan apakah hal itu akan mengatasi masalah ganti rugi.
Seruan agar Inggris membayar ganti rugi atas perannya dalam perdagangan budak semakin menguat dalam beberapa tahun terakhir, terutama di Karibia. Beberapa negara mengatakan Persemakmuran bisa menjadi forum yang berguna untuk membahas masalah krusial yang dianggap sangat memecah belah persatuan di antara mereka.
“Hanya karena orang takut tentang di mana debat akan berakhir, tidak berarti kita tidak boleh terlibat di dalamnya,” kata Valerie Amos, mantan menteri dan diplomat Inggris, sekarang kepala perguruan tinggi Oxford, yang lahir di Guyana, salah satu anggota Persemakmuran.
Namun, sejauh ini, tidak ada tanda-tanda bahwa organisasi tersebut bersiap untuk melakukan dialog terstruktur dan substantif tentang masalah ini.
Dalam sebuah wawancara dengan Reuters, Sekretaris Jenderal Persemakmuran Patricia Scotland menekankan mengenai daya tarik organisasi di luar lingkaran bekas koloni Inggris. Daya tarik tersebut membuat dua negara bekas koloni Prancis, Togo dan Gabon, memilih bergabung dengan Persemakmuran.
“Ada lebih banyak negara yang mendaftar (menjadi anggota Persemakmuran) saat ini. Jadi saya pikir beliau (Ratu) telah meninggalkan Persemakmuran kami dalam kondisi yang baik,” kata Scotland.
Persemakmuran saat ini cenderung mengedepankan isu-isu seperti perdagangan, perubahan iklim dan hak asasi manusia. Namun para kritikus mengatakan bahwa organisasi tersebut berjuang untuk membuat banyak dampak di bidang-bidang tersebut karena badan-badan internasional lainnya memiliki kekuatan dan mandat yang lebih spesifik.
Beberapa pengamat memperingatkan bahwa, tanpa ratu yang dapat menyedot fokus dan persatuan, Persemakmuran akan berisiko memudar menjadi tidak relevan. Apalagi jika ternyata kehadiran mereka dapat meningkatkan kehidupan warganya.
Amos mengatakan dia melihat Persemakmuran sebagai hal yang positif karena menjadi wadah perkumpulan para pemimpin dan warga negara dari negara yang berbeda, besar atau kecil, kaya atau miskin, dapat bertemu dan berbicara pada pijakan yang sama. [ah/rs]