Ditemui ketika memanen kentang di kebunnya, Yono, petani asal Temanggung, Jawa Tengah, mengaku menggunakan dua pupuk bersamaan, yaitu kimia dan organik. Kombinasi itu dia terapkan untuk mengurangi pemakaian pupuk kimia yang harganya saat ini cukup tinggi. Di sisi yang lain, Yono belum berani sepenuhnya percaya pada pupuk organik karena khawatir hasil panennya tidak maksimal.
Tidak seperti pupuk kimia yang hasilnya cenderung bisa dipastikan, Yono menyebut hasil dari tanaman dengan pupuk organik belum bisa dijadikan patokan.
“Ini sekedar alat untuk ikhtiar saja, hasilnya yang menentukan Tuhan. Karena ini kan produksi lokalan saja, bukan oleh pabrik,” katanya ketika ditemui VOA.
Di Riau, petani sawit juga menerapkan strategi yang sama di lahan garapan yang jauh lebih luas. Misngadi, Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) Riau, kepada VOA mengatakan kombinasi pemakaian pupuk kimia dan organik di kalangan mereka beragam. Sebagian dominan kimia, sebagian sebaliknya, dan ada juga yang cenderung berimbang.
“Dosis pupuk kimia yang dikurangi ya. Kita memang berusaha untuk mencari pupuk yang lain, seperti kompos, organik dan yang lain-lain, terutama memang pupuk kandang,dan pupuk tankos TBS,” kata Misngadi.
Tankos yang disebut Misngadi adalah tandan kosong yang merupakan limbah padat pabrik kelapa sawit dari proses pengelolaan tandah buah sawit menjadi minyak kelapa sawit atau CPO. Pemakaian pupuk tankos akan menggantikan pupuk kimia MOP atau KCl dan Dolomit, serta penggunaan pupuk TSP dapat dikurangi hingga setengahnya.
Petani sawit masih belum mau menggunakan pupuk organik cair, kata Misngadi, karena dinilai merepotkan mengingat luas lahan yang mereka garap. Sementara petani holtikultura atau tanaman pangan di Riau, relatif lebih akrab dengan produk tersebut. Seperti juga Yono, pupuk organik dipakai sebagai upaya tambahan saja, karena masih ada keraguan. Misngadi berharap, pupuk organik menerima perhatian lebih, terutama terkait standardisasinya.
“Maunya kita ya, ada riset dari kementerian atau yang badan yang berwenang, yang bisa diaplikasikan petani. Lha, nanti pelaksanaannya bisa lewat Kementan karena mereka kan punya penyuluh di pelosok desa,” tambah Misngadi.
SNI untuk Produk Industri
Dewan Pembina Institut Agroekologi Indonesia (INAgri), Achmad Ya’kub, mengatakan pemerintah sebenarnya sudah memiliki Keputusan Menteri Pertanian 261/2019, tentang persyaratan teknis minimal pupuk organik, pupuk hayati dan pembenah tanah.
“Ada acuan-acuan teknisnya, ada kriteria-kriteria yang harus ada, unsur-unsur misalnya nitrogennya berapa persen, terus apakah ada bauran zat yang berbahaya. Jadi ada parameter dan standar mutunya. Biasanya kalau dia adalah produsen pupuk organik cair maupun yang padat, itu sudah ada SNI-nya,” kata Achmad kepada VOA.
SNI, yang disebut Achmad adalah Standar Nasional Indonesia yang merupakan satu-satunya standar yang berlaku secara nasional di Indonesia. SNI dirumuskan oleh Komite Teknis dan ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN). Peraturan BSN No 4/2021, tentang skema penilaian terhadap SNI sektor pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan, memuat aturan rinci terkait penetapan SNI tersebut.
Achmad menggolongkan standardisasi pupuk organik dalam dua kelompok terkait kapasitasnya. Jika produksinya dalam jumlah besar dan distribusinya luas, SNI adalah kewajiban.
“Misalnya satu produk kapasitasnya lintas provinsi atau lintas kabupaten, ini kalau bicara kapasitas jangkauan geografis. Kemudian kapasitas produksi, misalnya sudah bisa memproduksi sebulan seribu ton, itukan skala industi. Perlu SNI, karena jangkauannya sangat luas,” lanjut Achmad.
“SNI adalah salah satu bentuk pelayanan pemerintah untuk untuk menjamin produsen maupun pengguna,” tambahnya lagi.
SNI sangat penting dalam produk pupuk organik, lanjut Achmad, karena intinya ada makhluk hidup di dalamnya. Harus dipastikan, jika produk tersebut disimpan petani dalam jangka waktu tertentu misalnya, kualitasnya tetap baik. Komposisi di dalamnya juga harus jelas karena akan menentukan fungsinya bagi tanaman.
Pentingnya SNI pupuk, juga ditegaskan Kepala Badan Standardisasi Nasional (BSN), Kukuh S. Achmad, dalam rilis resmi lembaga tersebut.
“Penerapan SNI pupuk akan menjamin kualitas dari produk pupuk yang harapannya dapat memenuhi harapan petani atau pengguna,” ujar Kukuh.
Hingga saat ini, BSN telah menetapkan 3.018 SNI terkait pertanian dan teknologi pangan. Dari jumlah tersebut, terdapat 29 SNI pupuk yang masih berlaku dan 9 di antaranya merupakan SNI wajib. Dari jumlah itu, 28 SNI dirumuskan oleh Komite Teknis 65-06 Produk Agrokimia sedangkan satu sisanya, dirumuskan Komite Teknis 65-08 Produk perikanan non-pangan, yaitu SNI 8267 kitosan cair sebagai pupuk organik.
Kukuh menegaskan pemerintah tidak menoleransi peredaran pupuk yang tidak memenuhi persyaratan mutu SNI wajib karena produk tersebut berpotensi merusak unsur hara dalam tanah serta tanaman. Pada gilirannya, kondisi itu akan mempengaruhi keberhasilan panen dan fungsi kelestarian lingkungan hidup. Penggunaan pupuk ber-SNI secara tidak langsung mendukung peningkatan produksi dan mutu produk pertanian dalam negeri.
Direktur Pengembangan Standar Agro, Kimia, Kesehatan dan Halal BSN, Heru Suseno memandang penting standardisasi semacam ini.
“Standardisasi yang didukung dengan kegiatan penilaian kesesuaian, dapat secara signifikan berkontribusi pada terwujudnya ketahanan pangan,” kata Heru.
“Adanya SNI dalam produk pupuk dapat memberikan jaminan bahwa pupuk tersebut telah memenuhi syarat mutu pupuk yang telah dirumuskan oleh para ahli,” tambahnya.
Bimbingan untuk Skala Kecil
Sementara dalam skala produksi lebih kecil, menurut Heru, pemerintah melalui Kementerian Pertanian, lebih baik melakukan pendampingan. Melalui penyuluh, kelompok-kelompok tani didampingi dalam membuat pupuk organik, dengan rumusan yang ditetapkan melalui riset. Produksi dalam skala kecil ini, juga membantu petani mengakses pupuk organik yang berkualitas terjamin, dengan harga terjangkau.
Pemerintah juga bisa mendorong poperasi petani, menyediakan pupuk organik dengan syarat-syarat minimal mutu yang ditentukan pemerintah, baik Kementan atau lembaga seperti BSN.
“Ketika mau ada kepastian mutu, mau tidak mau harus melalui uji kelayakan,” kata Achmad Ya’kub dari INAgri.
Achmad mengingatkan, Indonesia memiliki bahan baku pupuk organik yang melimpah. Persoalannya adalah budaya petani saat ini telah berubah karena cenderung memilih produk yang mudah dibeli dan bisa langsung dipakai.
Senada dengan Achmad, Misngadi dari SPI Riau juga meminta ada pendampingan bagi petani dalam produksi pupuk organik skala kecil. Pendampingan ini penting untuk memastikan mutu pupuk organik, yang akan dipakai. Selain itu, produksi dalam skala kecil juga menyederhanakan distribusi produk tersebut.
“Tinggal pemerintah menyediakan tutor dan panduan pelajaran terkait dengan pupuk organik yang bagus untuk tanaman perkebunan atau tanaman hortikultura,” kata Misngadi.
Saat ini sebenarnya menjadi kesempatan bagus bagi pemerintah, untuk menggerakkan pemakaian pupuk organik. Petani mulai sadar bahwa ketika pupuk kimia mahal, pupuk organik menjadi pilihan. [ns/ab]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.