Vaksin COVID 19 baru ini merupakan reformulasi vaksin yang lama. Pengembangnya menjanjikan vaksin ini mampu memberi perlindungan, baik terhadap strain virus COVID-19 yang asli maupun sub-varian Omicron BA.4 dan BA.5. Karena itu, vaksin ini disebut bivalen (bivalent).
Ini pertama kalinya FDA memberi otorisasi untuk vaksin COVID tanpa melalui uji coba pada manusia. FDA mengandalkan pada pengamatan sistem kekebalan tikus di laboratorium dan data efektivitas vaksin pendahulunya.
Mencermati perkembangan ini, VOA menghubungi Dr. LJ Tan, Chief Policy and Partnership Officer di Immunize.org.
Ia memberikan penilaian, “Jadi berkat teknologi, sudah tentu banyak data terkumpul tentang keselamatan dan efektivitas vaksin ini. Pada dasarnya FDA, karena vaksin ini dikembangkan persis sama seperti vaksin sebelumnya, meninjau apakah vaksin ini dapat merangsang respon kekebalan yang protektif. Respon kekebalan yang menunjukkan vaksin ini merangsang respon kekebalan, baik terhadap virus aslinya maupun varian omicron BA.4 dan BA.5.”
Menurut Tan, praktik seperti ini sejak lama dipraktikkan terhadap vaksin flu, di mana setiap tahun strain virusnya berubah. Untuk menyediakan vaksinnya tidak dilakukan uji klinis manusia lagi karena keterdesakan waktu tidak memungkinkannya.
Tan menambahkan bahwa kehadiran vaksin bivalen akan membantu mengurangi ancaman perebakan pada musim gugur mendatang.
“Hasil yang kita inginkan pada musim gugur ini adalah pengurangan kasus, dan vaksin awal, khususnya dilengkapi dengan booster, sudah efektif dalam mencegah opname di RS dan sakit yang serius. Jadi, menurut saya, vaksin bivalent menambah satu lapisan perlindungan lagi, di atas rangkaian vaksinasi yang sudah diperoleh dari rangkaian vaksin primer plus boosternya.”
Vaksin baru ini belum ada di Indonesia.
Dr. Budiono Santoso adalah pemerhati kesehatan masyarakat dan mantan penasihat untuk obat-obatan di WHO. Seperti Tan, dia juga menilai program vaksinasi yang dilaksanakan di Indonesia sejauh ini telah berhasil mengurangi keparahan penyakit COVID-19 dan tingkat kematiannya.
Yang perlu diperhatikan di Indonesia, menurut Budiono, adalah pembebasan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) pada Juli lalu menyebabkan kasus COVID-19 meningkat pada Agustus.
Budiono menyadari bahwa pemberlakuan lockdown total tidak dimungkinkan karena dampaknya pada ekonomi, namun Budiono yakin otoritas kesehatan masyarakat Indonesia dapat memprakarsai langkah-langkah pencegahan yang efektif.
“Ada preventive measures (langkah pencegahan) seperti menjaga jarak, menghindari keramaian, memakai masker, menjaga kesehatan dan sebagainya, itu tetap masyarakat harus di make sure (memastikan) bahwa itu tetap diperlukan,” tukasnya.
Keprihatinan Budiono yang berikutnya adalah pada tertib penggunaan antibiotik, dan menurut pengamatannya, di beberapa negara, misalnya di India, terlihat untuk COVID-19 ini banyak orang menggunakan antibiotik dengan harapan bisa menangkalnya. Selain ini merupakan penggunaan yang salah, meningkatnya konsumsi antibiotik berpotensi menimbulkan resistansi kuman.
“Risikonya kalau kita menggunakan antibiotik sembarangan, antara kebutuhan dan indikasinya, justru risikonya akan terjadi resistensi kuman. Kalau terjadi outbreak (perebakan) dengan kuman resisten, dampaknya sangat berat.”
Ke depannya, kedua pakar ini mengingatkan, penduduk dunia harus mulai menjalani kehidupan “normal” yang baru, di mana otoritas kesehatan masyarakat menyusun kebijakan vaksinasi umum. Namun pada akhirnya, terpulang pada diri kita untuk mewaspadai virus COVID-19 ini serta mengambil langkah pencegahan yang tepat guna menghindarinya. [jm/ka]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.