Peristiwa pembunuhan disertai mutilasi terhadap empat orang Papua di Kampung Pigapu, Distrik Mimika Timur, Kabupaten Mimika, Papua, yang melibatkan enam anggota TNI menambah daftar hitam kasus kekerasan di Bumi Cenderawasih. Rentetan peristiwa kekerasan itu tak lepas dari ditempatkannya militer yang terus dilakukan oleh TNI. Para pemuka agama dari gereja-gereja meminta pemerintah segera menegaskan status wilayah di Papua, apakah merupakan wilayah operasi militer atau tidak.
“Kami para pastor terutama di tempat konflik mengalami ada tindakan perang antara TNI dengan TPNPB-OPM. Tapi negara tidak mengakui bahwa fakta di lapangan membuktikan itu adalah perang,” kata pastor Bernard Baru dari Sekretariat Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan Ordo Santo Augustinus (SKPKC-OSA) Keuskupan Manokwari-Sorong.
Apabila pemerintah tidak mengakui bahwa Papua merupakan daerah operasi militer, kata Bernard, maka masyarakat sipil akan terus menjadi korban. Pasalnya, masyarakat sipil kerap dijadikan tameng bagi TNI maupun Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM).
Pastor Bernard menyayangkan sikap pemerintah yang tak bisa menyatakan dengan jelas terkait penempatan pasukan tempur di Papua. Penempatan militer hanya dianggap sebagai upaya keamanan, bukan operasi militer.
“Sepertinya (masyarakat) sipil menjadi tameng untuk sasarannya ke TPNPB-OPM. TPNPB-OPM juga seperti itu. Posisi yang harus dijelaskan negara bahwa situasi ini perang. Kalau tidak, kejahatan yang terus terjadi di Papua dan pembunuhan terhadap masyarakat sipil sudah melampaui. Ini sudah kejahatan kemanusiaan,” ujarnya.
Dialog dengan TPNPB-OPM
Untuk mengakhiri kekerasan dan kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Papua, buntut konflik antara TNI dan TPNPB-OPM, pemerintah diminta menyelesaikan persoalan di Papua seperti menuntaskan konflik di Aceh dengan cara berdialog dengan TPNPB-OPM.
“Perlu ada diskusi serius dari negara untuk menyelesaikan persoalan ini. Kami pihak gereja tidak ada jalan lain solusi bermartabat itu duduk dan berbicara. Supaya ada titik temu untuk menyelesaikan. Kenapa Aceh bisa duduk serta berbicara dan selesai. Kenapa (soal) Papua tidak bisa duduk dan bicara untuk menyelesaikan, supaya jangan jatuh korban terus. Kasihan masyarakat ibu-ibu dan anak yang menjadi korban. Para korban adalah jemaat kami di gereja,” pungkas Bernard.
Akademisi dari Universitas Cenderawasih, Melkias Hetharia, menilai penempatan pasukan militer malah menambah panjang masalah kemanusiaan di Papua.
“Apabila operasi itu dilaksanakan secara profesional maka bisa diterima sebagian besar orang. Tapi ternyata operasi-operasi itu bukan menyelesaikan persoalan Papua, malah melahirkan masalah-masalah baru. Masalah kemanusiaan yang tidak bisa diterima oleh masyarakat Papua,” ujarnya.
Untuk itu, TNI diminta melaksanakan tugas secara profesional. Dalam hal ini pelaksanaan tugas anggota TNI di Papua harus sesuai dengan aturan yang mengatur institusi keamanan negara.
Menurut Melkias, wajar apabila orang-orang Papua ingin melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) lantaran rentetan kasus-kasus kejahatan kemanusiaan silih berganti terjadi di Bumi Cenderawasih.
“Keadaan itu menyebabkan wajar saja kalau orang Papua meminta untuk melepaskan diri dari negara ini. Orang Papua mau untuk merdeka dan biarkan mereka mengelola kehidupannya sendiri sebagai suatu bangsa dan saya kira itu hal-hal yang wajar saja. Cuma memang di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Papua (sekarang) masih berada di kedaulatan NKRI,” tandasnya.
Tak Satu pun Kasus Pembunuhan di Luar Hukum Dituntaskan
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan tidak satu pun kasus pembunuhan-pembunuhan di luar hukum yang terjadi di Papua yang pernah dituntaskan secara adil. Sejak Februari 2018 hingga Juli 2022 terdapat 61 kasus pembunuhan di luar hukum yang melibatkan aparat keamanan, terutama TNI, dengan jumlah korban hampir 99 orang.
“Kalau ditambah peristiwa pada Agustus 2022 jelas lebih dari 100 orang korban. Oleh karena itu, situasi Papua saat ini tidak boleh dianggap seperti keadaan biasa melainkan keadaan yang menunjukkan intensitas konflik, kekerasan, dan pelanggaran HAM,” ucapnya.
Usman meminta para pelaku pembunuhan di luar hukum harus segera diadili dan menyeret pelakunya ke pengadilan umum.
“Untuk mencegah terulangnya peristiwa ini, agar ada jeda kemanusiaan. Setidaknya kedua pihak harus mulai mau bertemu, membangun kepercayaan dan keyakinan bahwa proses perdamaian itu bisa dimungkinkan apabila kedua pihak memang punya kemauan,” pungkasnya. [aa/ka]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.