Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern mengatakan pemerintahnya belum akan mengambil langkah-langkah segera untuk mengubah negara itu menjadi republik pasca kematian Ratu Elizabeth II. Ditambahkannya, ia yakin Selandia Baru akan menjadi republik dan hal itu mungkin akan terjadi dalam hidupnya, tetapi ada masalah yang lebih mendesak untuk diselesaikan. Ardern baru pertama kali menyampaikan pandangannya tentang debat publik Selandia Baru sejak kematian ratu, yang mencerminkan pandangan sebelumnya tentang hal ini.
“Sudah sejak ada ada perdebatan tentang hal ini, mungkin sudah beberapa tahun ini. Hanya soal kecepatan dan seberapa luas hal ini terjadi. Saya percaya Selandia Baru akan maju (membahas soal menjadi republik.red) pada waktunya. Saya yakin ini akan terjadi pada masa hidup saya. Tetapi saya tidak melihat hal itu sebagai langkah yang perlu dilakukan segera, atau apapun terkait agenda itu… terutama ketika kita sedang dalam masa duka,” kata Ardern.
Berdasarkan sistem yang saat ini berlaku, raja Inggris akan tetap menjadi kepala negara Selandia Baru, yang diwakili dengan keberadaan seorang gubernur jendral. Peran gubernur jendral saat ini bersifat seremonial semata. Namun demikian masih banyak orang yang menilai Selandia Baru tidak akan benar-benar keluar dari bayang-bayang kolonialis di masa lalu dan menjadi sebuah negara independent hingga menjadi republik.
Di masa lalu warga Selandia Baru berspekulasi bahwa debat soal pembentukan negara republik ini hanya akan meraih momentum setelah kematian Ratu Elizabeth II mengingat begitu banyak pihak yang mencintainya.
Australia Belum akan Langsungkan Referendum
Hal senada juga terjadi di Australia. Perdana Menteri Australia Anthony Albanese, yang setelah pemilu Mei lalu telah mulai meletakkan dasar-dasar bagi pembentukan sebuah republik Australia, hari Minggu (11/9) menegaskan bahwa saat ini bukan waktunya untuk melangsung perubahan, tetapi untuk memberikan penghormatan pada kehidupan Ratu Elizabeth II.
Banyak yang menganggap rasa hormat dan sayang warga Australia pada mendiang ratu sebagai hambatan terbesar bagi negara itu untuk menjadi republik dengan kepala negara sendiri.
Dalam wawancara pertama dengan media asing sejak mangkatnya Ratu Elizabeth II, Albanese mengatakan ia tidak akan melangsungkan referendum mengenai apakah Australia harus menjadi republik atau tidak pada masa jabatan pertamanya.
“Pandangan saya tentang hal ini sudah diketahui banyak pihak dan terdokumentasi dengan rapi. Tetapi saat ini bukan saatnya untuk bicara tentang sistem pemerintahan kita. Kini saatnya memberi penghormatan pada Ratu Elizabeth II dan kehidupan yang dijalani dengan baik. Kehidupan yang penuh dedikasi dan kesetiaan, termasuk pada warga Australia, dan kita harus menghormati dan berduka dengan kepergiannya. Hari ini juga kita memperingati Proklamasi Raja Charles III sebagai Kepala Negara Australia. Ini sistem pemerintahan yang kita punya, salah satu yang harus dihormati oleh perdana menteri,” ujarnya.
Albanese, yang menggambarkan dirinya sebagai kandidat pertama dengan “nama non-Anglo Celtic” yang mencalonkan diri sebagai perdana menteri dalam 121 tahun sejak jabatan itu ada, telah menciptakan posisi baru Asisten Menteri Untuk Republik. Bulan Juni lalu ia menunjuk Matt Thistlehwaite untuk jabatan itu. Thistlehwaite mengatakan tidak akan ada perubahan saat ini.
Albanese sebelumnya telah mengatakan bahwa referendum bukan prioritas dari masa jabatan tiga tahun pertamanya di pemerintahan. [em/jm]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.