Kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi di lingkup gereja katolik di Tanah Air merupakan fenomena gunung es yang menyimpan banyak kasus lama yang tidak terungkap. Pastor dan cendekiawan katolik Franz Magnis-Suseno, SJ, mengatakan otoritas gereja katolik yang memiliki kuasa hierarkis memungkinkan para pastor menjadi pelaku kekerasan seksual kepada umatnya.
Franz Magnis menyontohkan terungkapnya kasus kekerasan seksual di sejumlah gereja di Eropa serta Amerika menunjukkan mayoritas pelaku adalah para pastor atau imam. Permasalahan serupa juga terjadi di Indonesia, tetapi ironisnya justru dilindungi dan ditutupi oleh pejabat pemegang otoritas gereja itu sendiri.
“Yang menjadi masalah adalah juga di gereja Indonesia. Jelas sekali saya tahu kasus-kasus di mana gereja pertama-tama melindungi diri, gereja menutup-nutup. Katakan saja yang melakukan kekerasan itu memang ditegur, dianggap berdosa, dosa bisa diampuni, mungkin dipindahkan. Yang sama sekali belum ada adalah perspektif korban,” ujar Franz Magnis.
“Kondisi awal penyintas itu, yang jelas tidak berdaya, awalnya pasti tidak tahu apa yang harus dilakukan, merasa terpuruk, merasa tidak berharga, merasa disalahkan, semuanya ada di situ. Semuanya yang jelas sudah merasa sepertinya saya ini bukan orang lagi,” ujarnya.
Sementara teolog feminis katolik, Agustina Prasetyo Murniati, mengatakan konstruksi sosial, budaya dan politik di masyarakat, khususnya di lingkup gereja katolik, mengkonstrusikan umat pada posisi yang berada di bawah kuasa atau inferior. Kondisi yang disebut sebagai sindrom hierarkis ini memosisikan umat awam menjadi enggan bersuara. Agustina memperkirakan hierarkis gereja sebagai masalah yang dihadapi adalah hal yang mustahil dapat diselesaikan.
“Sikap-sikap ini juga akibat dari, kan kita semua ini menderita sindrom hirarkis. Secara tidak sadar meletakkan dirinya, untuk para umat awam ini, inferior. Nah, ini kalau tidak ada uluran tangan dari yang posisinya superior, keterbukaan. Ini juga sangat sulit untuk menciptakan relasi setara karena justru konstruksi hierarkis dalam gereja ini sangat kuat,” tuturnya.
“Menurut saya seminari itu memang harus lebih memperhatikan kematangan seksual. Dan kalau ada orang yang di situ tidak matang, tidak cocok untuk menjadi Imam. Bukan hanya karena tidak akan taat pada selibat, tetapi juga karena akan melakukan pelanggaran,” katanya.
“Penanganan terhadap masalah kekerasan atau pelecehan seksual, itu bukan terutama demi pencitraan, tetapi saya kira itu prinsip umum. Kita mau memulihkan atau menjunjung tinggi martabat manusia itu sendiri. Saya kira di tengah kondisi umat yang masih sangat sungkan, masih sangat resisten dengan soal-soal semacam itu. Menurut saya animasi katekese dijalankan dalam internal gereja. Sampaikan, bangun kesadaran umat, penyadaran terhadap umat bahwa ini kejahatan. Mereka juga turut bertanggung jawab untuk menjunjung tinggi martabat manusia, dalam kasus semacam ini, martabat korban,” paparnya.
“Kita juga mendukung dan mendorong bagaimana lembaga-lembaga gereja, lembaga-lembaga keagamaan lain seperti pesantren, memiliki panduan pedoman atau peraturan internal, untuk bagaimana upaya pencegahan, penanganan, dan pemulihan korban,” tuturnya. [pr/ah]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.