Setelah dua tahun absen karena pandemi virus corona, tradisi keluarga Marjono Reksopuro dalam merayakan Hari Kemerdekaan Amerika dihidupkan lagi. Diaspora Indonesia di Happy Valley, negara bagian Oregon ini mengisi hari libur nasional sehari penuh. Pria 50 tahun ini mengajak anak-anaknya menghias sepeda, berparade mengelilingi taman, serta jajan di festival jalanan.
Dan sambil menunggu penyalaan kembang api, pria yang sudah 23 tahun di AS ini, mengundang kerabat dan sahabat ke rumah untuk barbeku dan makan-makan, dengan sedikit pembatasan.
“Biasanya kita undang 10 keluarga, tapi sekarang dikurangi karena Covid. Terlalu berisiko,” ujarnya kepada VOA.
Meski tamunya terbatas, tapi menu makanannya tetap spesial, dengan perpaduan masakan khas AS dan Indonesia.
“Kalau saya sih biar gimana juga mulutnya tetap mulut Indo,” ujar laki-laki asal Jakarta yang pindah ke AS pada 1999 ini.
Tradisi barbeku dengan cita rasa Indonesia juga dilakoni oleh Vega Vashtiary, diaspora Indonesia di Aurora negara bagian Colorado. Perempuan 40 tahun ini mengatakan kepada VOA bahwa suaminya menyiapkan ikan dan ayam bakar dengan saus khas Indonesia.
“Dan (makannya) mesti pakai nasi deh, ngga bisa pakai roti, ngga cocok,” ujarnya tertawa.
Perayaan 4 Juli di jaman modern identik dengan berkumpul santai bersama keluarga dan teman dan menonton kembang api. Menyenangkan, tapi sepertinya ada yang kurang, ujar Vega.
“Kita tidak terlalu memikirkan seperti apa ketika negara ini berdiri dan di mana kita sekarang. Ada baiknya memulai tradisi untuk mengapresiasi sejarah,” ujar perancang interior yang sudah hampir 20 tahun di AS ini.
Momen ini, katanya, mengingatkannya pada waktu menjalani proses naturalisasi sebagai warga negara AS pada 2016. Ketika itu, ia mempelajari dengan serius sejarah dan pemerintahan AS. Satu hal yang sangat ia hargai adalah kebebasan.
“Di Amerika itu, kebebasan sangat dihargai di sini, apakah itu kebebasan berpendapat, kebebasan memiliki senjata — apakah kita setuju atau tidak — dan kebebasan lainnya. Orang-orang rela berjuang keras untuk melindungi kebebasan. Itu betul-betul membuat saya kagum,” ujar perempuan yang hobi baca buku ini.
Sementara Marjono, yang menjalani naturalisasi atau berganti kewarganegaraan pada 2011, menghargai AS yang telah memberinya peluang untuk mewujudkan “American Dream.”
“Waktu saya datang dari Indonesia, saya hanya mau mengadu nasib. Kita bukan dari keluarga berada. Saya coba, ada kesempatan dan ada hal lain, ada jalannya, bersyukur, itu berkah dari yang di atas,” ujar lulusan Teknik Sipil UI yang kini bekerja sebagai pakar IT di sebuah perusahaan transportasi barang ini.
Menurutnya, yang penting adalah berdoa dan berusaha, agar “American dream” tidak menjadi “American nightmare.” [vm/em]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.