Usai dilepas oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno, Khansa melakukan perjalanan ke Elbrus pada 7 Agustus 2022. Dan, tepat pada hari ini ia mengibarkan bendera Merah Putih di puncak Gunung Elbrus yang bersalju.
Puncak ke-77 di HUT 77 RI
Pemilihan Elbrus sebagai puncak ke-77 dan dilakukan tepat pada HUT 77 RI bukan tanpa alasan. Menurut Siswi Kelas 11, Labschool Jakarta ini, Puncak Gunung Elbrus adalah keinginanya untuk melanjutkan program 7 summits dan momentumnya pas dengan waktu yang diperhitungkan.
“Ini jadi kayak kado ulang tahun buat Indonesia dari aku dan ayah,” ujar Khansa membuka percakapan kepada Medcom.id.
Khansa menyebut, Elbrus merupakan gunung yang memiliki ketinggiannya lebih dari 5000 mdpl. Otomatis temperatur udara di sana, kata Khansa, juga minus dan oksigen juga makin menipis.
Khansa Syahla saat dilepas oleh Menparekraf Sandiaga Uno pada 2 Agustus lalu. (Foto: Kemenparekraf)
“Jadi mesti betul-betul jaga kondisi, jangan sampai kena AMS (Acute Mountain Sickness). Ini juga akan menjadi pendakian gunung full salju pertama buatku. Jadi harus pakai peralatan khusus seperti double boots, crampons dan ice axe yang berat yang merupakan tantangan tersendiri,” jelas anak dari Aulia Ibnu dan Pramudhi Ayu.
Saat melakukan perjalanan ke Elbrus, Khansa fokus persiapan fisik dan mental. Apalagi ia menghadapi gunung-gunung yang technical atau butuh latihan khusus misalnya gunung-gunung 7 summits yang ketinggiannya di atas 5000mdpl.
“Di ketinggian itu oksigen menipis jadi perlu aklimatisasi. Seperti yg aku lakukan sebelum berangkat ke Elbrus, aku ke gunung Slamet Jawa Tengah. Aku di puncak itu stay selama 2 jam padahal biasanya paling lama di puncak ya paling 15-20 menit,” terang Khansa.
Sejak 5 tahun
Khansa mulai mendaki ketika usianya 5 tahun. Dara kelahiran Jakarta, 16 Maret 2006 ini menyukai pendakian ke gunung lantaran ia kerap melihat ayahnya mendaki.
“Awal mulanya dari melihat ayah. Ayahku mendaki sejak dulu, jadi aku suka lihat-lihat foto-fotonya, mendengar cerita-ceritanya juga. Lalu aku mulai membeli buku-buku pendaki gunung, nonton film-film tentang gunung ya jatuh cinta aja akhirnya,” kata Khansa.
Khansa saat berada di Puncak Wijaya Gn Slamet. (Foto: Khansa Syahla)
Mengenai gunung pertama yang Khansa daki adalah Gunung Bromo, ketika usianya masih 5 tahun. Kemudian dua tahun berselang, atau tepatnya ia berusia 7 tahun, ia menjajal Gunung Rinjani, namun ia hanya mampu sampai Pelawangan.
“Usia 8 tahun aku baru mulai-mulai serius naik gunung. Alhamdulillah bisa sampai puncak Rinjani saat itu,” akunya, senang.
Lama-kelamaan, Khansa yang telah menekuni dunia petualangan ini paham kalau mendaki gunung bukan hanya suka, tapi juga untuk mencari pengalaman, dan ingin melihat Indonesia serta dunia dari puncak-puncak tertinggi.
Sempat terapkan metode survival
Menekuni sesuatu bukan tanpa risiko, apalagi mendaki gunung yang harus berhadapan dengan alam liar dan juga tentunya cuaca. Khansa pun pernah mengalami hal yang tak diinginkan, yaitu disergap kabut tebal hendak menuju puncak Kabentonu.
“Kalau drop sih Alhamdulillah jangan sampai ya.Tapi aku dan tim waktu pendakian 7 Longest Indonesia ke Kabentonu sempat menerapkan metode survival saat mau ke puncak. Kami sempat terhalang kabut tebal dan sudah kesorean juga,” cerita Khansa.
“Kami bermalam dengan satu tenda, satu flysheet (pelindung tenda terbuka), dan makanan seadanya yang dibagi untuk sebelas orang. Malam itu, angin begitu kencang dan dingin menusuk tulang. Tanpa sleeping bag, tak bermatras, hanya mengenakan pakaian lapangan yang basah, dan logistik seadanya. Ini tapi tidak boleh dilakukan dengan sembrono ya, saat itu kami sudah berpikir matang dan memperhitungkan semuanya,” jelasnya.
Khansa pun berusaha untuk menjaga tubuh tetap hangat, membuat api, menyantap minuman dan makanan hangat.
Program 7 Longest Indonesia
Khansa sangat tertarik untuk mengikuti program 7 Longest Indonesia. Progeam ini merupakan ide ia sendiri. Pertama kali ia terpikirkan tentang program itu, ia ingin lebih banyak eksplore gunung-gunung Indonesia yang jarang dieksplore.
“Aku pengen lihat lebih dekat, berharap bisa jadi destinasi teman-teman juga tapi dengan catatan harus tetap menjaga kelestariannya. Karena gunung itu bukan tempat sampah manusia, mereka rumah bagi para penghuninya,” harap Khansa.
Terindah dan tersulit
Dari keseluruhan gunung yang khansa daki, Gunung Binaiya di Maluku menjadi gunung yang memiliki pemandangan terbaik ketika kita berada di puncak. Sementara Kilimanjaro di Afrika juga memiliki puncak yang sangat indah.
“Sedangkan untuk yang tersulit adalah Kabentonu di Sulawesi. Saat aku ke sana sudah 9 tahun tidak pernah didaki. Butuh dua hari hanya untuk membuka jalur menuju tempat perkemahan terakhir yang berjarak sekitar 1,3 kilometer menuju puncak. Termasuk salah satu pendakian ekstreem buat aku,” kata anak kedua dari 3 bersaudara ini.
Menurut Khansa, gunung-gunung di Indonesia ini sangat indah dan punya keistimewaan tersendiri. (Foto: Khansa Syahla)
“Kayak Binaiya itu pemandangannya udah kayak di film Enchanted, Baliase dan Kabentonu di Sulawesi yang masuk dalam program “7 Longest Indonesia” yang bener-bener menantang, Carstenzs jadi gunung bersalju yang pertama kali aku daki dan jadi penutup sirkuit 7 summits Indonesia aku,” ujar Khansa.
Gunung yang belum disambangi Khansa
Kendati sudah mendaki 77 puncak gunung, Khansa masih memiliki keinginan berkunjung ke puncak gunung Trikora di Papua. Ia mengaku belum mendapat izin untuk menuju puncak tersebut.
“Belum dapat izinnya, kalau dapat ini bakal menjadi penutup program “7 Longest Indonesia”. Ini adalah program ekspedisi 7 gunung dengan jalur pendakian terpanjang di Indonesia,” ujar khansa.
“Pegunungan itu adalah Leuser di Aceh, Argopuro di Jawa Timur, Gandang Dewata di Sulawesi Barat, Gunung Sojol di Sulawesi Tengah, dan Gunung Patah di Bengkulu. Rata-rata lama penjelajahan mencapai 7 sampai 10 hari di dalam hutan,” sambungnya.
Sementara untuk di dunia, gunung yang belum didakinya adalah yang termasuk 7 summits. Di antaranya Aconcagua, Denali, Vinson Masiff dan Everest. Oh iya, sama gunung Eigeer di Swiss.
(FIR)
Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.